Selain itu, ada pula narasumber yang menyatakan bahwa sejak usia muda dirinya lebih memilih untuk fokus pada pengembangan karier atau pencapaian tujuan pribadi lainnya, seperti mendalami keilmuan, meningkatkan taraf ekonomi, atau membantu keluarga. Pilihan ini pada awalnya mungkin bersifat sementara, namun seiring berjalannya waktu, mereka menjadi terbiasa dengan pola hidup mandiri dan merasa nyaman dalam kesendirian. Dalam beberapa kasus, kenyamanan tersebut bahkan berkembang menjadi resistensi terhadap ide membentuk keluarga karena dinilai akan mengganggu kestabilan hidup yang telah dibangun. Tidak sedikit pula yang menyatakan bahwa mereka telah menemukan makna hidup dalam bentuk lain seperti pengabdian kepada orang tua, pekerjaan sosial, atau pengembangan spiritual yang membuat kehadiran pasangan hidup tidak lagi menjadi prioritas.
Fenomena ini menunjukkan bahwa keputusan untuk tidak menikah bukanlah semata-mata karena “tidak ada jodoh” sebagaimana sering diasumsikan dalam narasi masyarakat, melainkan merupakan hasil dari proses internalisasi nilai-nilai pribadi, pengalaman emosional, dan pergeseran orientasi hidup yang bersifat sangat personal. Aspek psikologis seperti kestabilan emosi, kebutuhan akan otonomi, serta preferensi terhadap kualitas hidup tertentu berperan besar dalam membentuk keputusan tersebut. Dalam konteks ini, belum menikah bukan sekadar “kegagalan memenuhi ekspektasi sosial”, melainkan dapat dilihat sebagai bentuk kemandirian dalam menentukan arah hidup sesuai dengan kebutuhan dan kenyamanan pribadi.
3. Faktor Eksternal Penyebab Belum Menikah
Selain faktor internal yang bersumber dari dalam diri individu, faktor eksternal juga memberikan kontribusi besar terhadap kondisi belum menikah pada individu usia dewasa lanjut. Faktor eksternal merujuk pada pengaruh-pengaruh dari luar diri seseorang, seperti kondisi ekonomi, budaya masyarakat, tekanan sosial, serta akses terhadap calon pasangan. Dalam konteks masyarakat Desa Wonorejo, beberapa faktor eksternal yang paling dominan berdasarkan hasil wawancara adalah ketidakstabilan ekonomi, berkurangnya tekanan sosial terhadap pernikahan seiring bertambahnya usia, serta sulitnya menemukan pasangan yang dianggap sesuai baik dari segi nilai, karakter, maupun kesiapan hidup bersama.
Sejumlah narasumber menyampaikan bahwa mereka pernah berada pada fase hampir menikah, namun rencana tersebut batal karena terhalang oleh kondisi finansial. Keterbatasan ekonomi seringkali menjadi penghambat utama dalam mempersiapkan pernikahan yang oleh sebagian masyarakat masih dianggap membutuhkan biaya besar, seperti untuk prosesi adat, mahar, dan kebutuhan rumah tangga awal. Dalam beberapa kasus, calon pasangan atau pihak keluarga calon pasangan menuntut kesiapan materi tertentu yang tidak mampu dipenuhi oleh narasumber. Hal ini menunjukkan bahwa dalam struktur masyarakat pedesaan, kesiapan finansial masih menjadi tolok ukur utama untuk kelayakan menikah, bahkan melebihi kesiapan emosional atau spiritual.
Selain kendala ekonomi, terdapat pula kasus di mana pernikahan tidak terjadi karena kurangnya restu dari pihak keluarga. Dalam budaya masyarakat agraris seperti di Desa Wonorejo, restu orang tua atau keluarga besar masih memegang peranan penting. Ketika restu tersebut tidak diberikan, baik karena alasan perbedaan status sosial, latar belakang keluarga, maupun alasan subjektif lainnya, maka rencana pernikahan pun kerap kali dibatalkan. Ini menunjukkan bahwa kendali sosial terhadap kehidupan pribadi individu, termasuk dalam urusan pernikahan, masih cukup kuat dalam struktur masyarakat desa, meskipun hal tersebut tidak selalu diekspresikan secara eksplisit.
Seiring bertambahnya usia, tekanan sosial untuk segera menikah cenderung menurun, khususnya bagi individu yang telah melewati usia yang secara normatif dianggap ideal untuk menikah. Jika pada usia 20-an hingga awal 30-an seseorang masih sering mendapatkan dorongan atau bahkan tekanan dari lingkungan untuk menikah, maka pada usia 40 tahun ke atas tekanan tersebut berkurang drastis, bahkan bisa berubah menjadi bentuk penerimaan atas status lajang. Namun, hal ini bukan berarti individu terbebas dari ekspektasi sosial sepenuhnya. Dalam beberapa wawancara, narasumber menyatakan bahwa mereka merasa malu atau tidak nyaman membayangkan menikah di usia lanjut karena khawatir dengan pandangan masyarakat yang menganggap pernikahan di usia tua sebagai hal yang “aneh”, “terlambat”, atau bahkan tidak perlu lagi. Stigma semacam ini dapat membentuk persepsi negatif terhadap diri sendiri dan pada akhirnya memengaruhi keputusan untuk tetap melajang.
Faktor eksternal lainnya adalah terbatasnya kesempatan untuk bertemu dan berinteraksi dengan calon pasangan potensial. Seiring bertambahnya usia, ruang-ruang sosial untuk membangun relasi baru menjadi semakin sempit. Banyak narasumber menyampaikan bahwa lingkup sosial mereka saat ini terbatas pada pekerjaan, rumah, dan komunitas kecil, sehingga peluang untuk berkenalan dengan orang baru yang memenuhi kriteria sebagai pasangan hidup menjadi sangat terbatas. Di sisi lain, keinginan untuk menemukan pasangan yang dianggap "ideal" baik secara agama, karakter, maupun visi hidup juga menjadi tantangan tersendiri. Beberapa narasumber bahkan menyampaikan bahwa mereka belum menemukan orang yang bisa membuat mereka merasa “klik” secara emosional maupun spiritual, sehingga lebih memilih untuk tidak menikah daripada menjalani pernikahan yang tidak dilandasi kenyamanan dan kesesuaian nilai.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keputusan untuk tidak menikah pada usia dewasa lanjut tidak semata-mata merupakan hasil dari pilihan individual, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh dinamika sosial dan struktural yang melingkupi kehidupan individu tersebut. Tekanan ekonomi, kendala budaya, stigma sosial, serta keterbatasan ruang sosial untuk membangun relasi merupakan faktor-faktor eksternal yang saling berkelindan dan menciptakan kondisi yang tidak mendukung bagi individu untuk memasuki lembaga pernikahan. Dalam konteks ini, belum menikah tidak bisa dipahami sebagai bentuk kegagalan, melainkan sebagai hasil dari interaksi antara kehendak pribadi dan realitas sosial yang kompleks.
4. Tinjauan dari Kondisi Sosial Dari sisi sosial,
Fenomena belum menikah pada usia dewasa lanjut di Desa Wonorejo dapat dipahami sebagai hasil dari dinamika interaksi sosial yang mengalami perubahan seiring bertambahnya usia. Berdasarkan hasil temuan lapangan, sebagian besar narasumber menunjukkan adanya kecenderungan untuk menarik diri secara perlahan dari kehidupan sosial masyarakat. Fenomena ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk adaptasi psikososial yang umum terjadi pada individu yang memasuki usia dewasa menengah hingga lanjut, di mana kebutuhan untuk bersosialisasi mulai digantikan oleh kecenderungan untuk mencari stabilitas, kenyamanan pribadi, dan penguatan hubungan dengan lingkungan terdekat seperti keluarga inti.