Maka dari itu reviewer menganggap bahwa judul ini sangat relevan dan mencerminkan kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat masa kini, di mana nilai-nilai tradisional tentang pernikahan mulai mengalami pergeseran akibat perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Di wilayah perkotaan yang telah berkembang, pola pikir terhadap pernikahan mengalami transformasi cukup signifikan. Pernikahan tidak lagi dianggap sebagai keharusan pada usia tertentu, melainkan sebagai pilihan hidup yang disesuaikan dengan kesiapan emosional, kondisi finansial, dan tujuan pribadi.
  Namun, yang menjadikan skripsi ini sangat menarik dan penting untuk dikaji adalah karena justru temuan-temuan dalam penelitian ini berasal dari masyarakat desa sehingga menimbulkan sebuah konteks sosial yang secara kultural dan normatif masih sangat menjunjung tinggi pernikahan sebagai suatu keharusan dan ukuran keberhasilan hidup seseorang. Dalam masyarakat desa, status belum menikah pada usia dewasa sering kali menimbulkan sorotan sosial, stigma, bahkan tekanan yang kuat dari lingkungan. Oleh karena itu, munculnya fenomena individu baik itu laki-laki maupun perempuan yang belum menikah di usia 35--60 tahun lebih di masyarakat desa menjadi ironi sosial yang patut dicermati lebih dalam.
  Fenomena ini menunjukkan bahwa perubahan pola pikir terhadap pernikahan tidak hanya terjadi di masyarakat kota, tetapi juga mulai merambah ke masyarakat desa yang selama ini dianggap lebih tradisional. Hal ini mencerminkan bahwa proses modernisasi dan globalisasi turut memengaruhi cara pandang individu desa terhadap kehidupan pribadi, termasuk dalam hal pernikahan. Dengan kata lain, pilihan untuk belum menikah atau tidak menikah bukan lagi semata-mata karena hambatan eksternal, tetapi bisa juga berasal dari keputusan dari diri sendiri dan rasional yang dipengaruhi oleh pengalaman hidup, nilai-nilai baru, dan dinamika psikologis yang kompleks.
  Lebih lanjut, pendekatan multidisipliner yang digunakan dalam skripsi ini yang mencakup banyak aspek  dari mulai aspek sosial, psikologis, biologis (siklus sel reproduksi), dan pendekatan normatif agama melalui Maqashid Syari'ah tentu dapat memberikan kedalaman analisis yang tidak hanya menjelaskan apa yang terjadi, tetapi juga mengapa dan bagaimana kondisi tersebut bisa dipahami dari berbagai sudut pandang. Hal ini menjadikan sebuah skripsi yang di tulis oleh Ariyanto seorang mahasiswa program studi Hukum Keluarga Islam tersebut di tahun 2022 sebagai karya ilmiah yang tidak hanya menginformasikan, tetapi juga memberi ruang pemahaman yang lebih luas dan empatik terhadap realitas sosial yang tengah berkembang.
  Dengan demikian, pemilihan skripsi ini untuk direview bukan hanya karena keunikan tema dan kedalaman pendekatannya, tetapi juga karena kontribusinya dalam memperluas perspektif kita terhadap perubahan sosial, terutama terkait pernikahan, di tengah masyarakat yang terus mengalami pergeseran nilai baik di perkotaan maupun pedesaan. Skripsi ini mengajak kita untuk lebih memahami bahwa kehidupan pribadi seseorang tidak bisa dinilai hanya dari norma sosial yang berlaku, tetapi harus dilihat dari keseluruhan dinamika yang membentuk pilihan hidupnya.
  Oleh karena itu, skripsi ini tidak hanya berkontribusi terhadap literatur akademik dalam bidang studi sosial dan keagamaan, tetapi juga menawarkan sudut pandang baru yang lebih empatik dan realistis dalam melihat fenomena sosial yang kompleks. Skripsi ini dinilai sangat layak untuk direview karena alasan relevansinya dengan kehidupan masa kini, terutama dalam menjembatani pemahaman antara norma sosial dengan realitas yang dihadapi oleh individu-individu di masyarakat yang sedang mengalami perubahan nilai secara signifikan seperti saat ini.
PEMBAHASAN
- Gambaran Desa
  Desa Wonorejo merupakan salah satu dukuh yang terletak di wilayah administratif Kelurahan Tuban, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis, Desa Wonorejo berada di kawasan dataran rendah yang memiliki kontur tanah yang relatif datar dan subur, menjadikannya sangat potensial untuk kegiatan agrikultur. Sebagian besar wilayah desa ini dikelilingi oleh lahan-lahan pertanian berupa persawahan dan perkebunan yang hijau dan produktif, yang tidak hanya menjadi penyangga ekonomi lokal, tetapi juga membentuk identitas ekologis dan budaya masyarakatnya. Dengan luas wilayah mencapai 278,3025 hektare, Desa Wonorejo terbagi ke dalam dua wilayah kebayanan, yaitu Wonorejo Lor dan Wonorejo Kidul. Wonorejo Lor terdiri dari empat Rukun Tetangga (RT) dan satu Rukun Warga (RW), sementara Wonorejo Kidul memiliki beberapa RT dan RW yang juga aktif menjalankan roda organisasi masyarakat di tingkat paling bawah. Struktur sosial yang demikian membentuk sistem gotong royong dan koordinasi sosial yang erat antarwarga, memperkuat semangat kekeluargaan dan kepedulian kolektif yang menjadi ciri khas desa-desa di pedesaan Jawa.
  Dari segi budaya dan sejarah, Desa Wonorejo termasuk wilayah yang masih mempertahankan banyak tradisi lokal yang diwariskan secara turun-temurun, seperti tradisi kenduri, sedekah bumi, tahlilan, serta ritual-ritual adat lain yang menyatukan warga dalam ikatan sosial yang kuat. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak hanya berfungsi sebagai bentuk ekspresi religius dan budaya, tetapi juga sebagai ruang komunikasi sosial antargenerasi. Selain itu, posisi geografis desa yang tidak terlalu jauh dari pusat Kabupaten Karanganyar memberikan akses yang cukup baik terhadap layanan pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur lainnya, meskipun masih terdapat tantangan dalam hal pemerataan pembangunan.
  Dalam hal mata pencaharian, masyarakat Desa Wonorejo menunjukkan keragaman profesi yang merefleksikan perubahan struktur ekonomi pedesaan seiring dengan perkembangan zaman. Meskipun sektor pertanian masih menjadi tulang punggung ekonomi warga baik dalam bentuk pertanian padi, palawija, maupun hortikultura namun terjadi pula pergeseran ke sektor lain. Banyak warga yang bekerja sebagai buruh bangunan, baik di sekitar desa maupun merantau ke kota-kota besar seperti Solo, Yogyakarta, dan Jakarta. Sebagian lainnya berprofesi sebagai guru di lembaga pendidikan formal, karyawan swasta di sektor industri, pelaku usaha mikro dan kecil yang memproduksi makanan ringan, kerajinan tangan, hingga industri rumah tangga yang mengolah hasil pertanian lokal. Terdapat pula pelaku wirausaha di bidang perdagangan dan jasa yang semakin berkembang berkat adanya akses transportasi yang cukup memadai. Keberagaman ini mencerminkan adanya mobilitas sosial yang mulai tumbuh, meskipun tidak merata, serta ketahanan ekonomi masyarakat yang fleksibel dalam menghadapi perubahan zaman.
  Namun, di balik dinamika sosial-ekonomi yang tampak berkembang tersebut, terdapat realitas sosial yang cukup menarik untuk diteliti dan dipahami secara lebih mendalam. Salah satunya adalah fenomena meningkatnya jumlah individu, baik laki-laki maupun perempuan, yang belum menikah meskipun telah memasuki usia 35 tahun ke atas, bahkan hingga usia 60 tahun. Fenomena ini tidak hanya menjadi tanda perubahan nilai dalam masyarakat, tetapi juga mencerminkan adanya faktor-faktor sosial, ekonomi, psikologis, dan bahkan kultural yang memengaruhi keputusan individu dalam membangun kehidupan rumah tangga. Beberapa alasan yang melatarbelakangi hal ini antara lain adalah kondisi ekonomi yang belum stabil atau penghasilan yang dianggap belum cukup untuk membina keluarga, pengalaman traumatis akibat hubungan masa lalu, tanggung jawab untuk merawat orang tua atau anggota keluarga lain yang lebih tua, serta adanya preferensi hidup mandiri yang lebih menekankan pada pencapaian pribadi dibandingkan ikatan perkawinan.
  Selain itu, faktor spiritual dan religius juga turut berperan dalam membentuk pilihan hidup ini, misalnya adanya keyakinan bahwa jodoh akan datang pada waktu yang tepat menurut kehendak Tuhan, atau karena keinginan untuk mengabdikan diri dalam kegiatan sosial keagamaan tanpa terikat oleh peran domestik. Tidak sedikit pula yang merasa tidak menemukan pasangan yang cocok secara emosional, intelektual, maupun nilai-nilai hidup. Dalam beberapa kasus, terdapat pula pengaruh dari konstruksi sosial yang membentuk stigma terhadap perempuan berusia matang yang belum menikah, yang sering dianggap "terlambat" atau "tidak laku," padahal realitasnya jauh lebih kompleks. Demikian pula dengan laki-laki yang belum menikah, kerap dihadapkan pada tekanan sosial yang mengaitkan maskulinitas dengan keberhasilan membentuk keluarga.