"Saya pak muklis, petani sawah dan kebun petai. Saya juga usaha tempe". Kata si Bapak yang kurus.
Lalu si Tukang tambal berkata kepada saya, Â "Boss...kedua bapak ini juragan di kampung. Pak onjek kolam lele dan mujairnya luas. Susu sapinya banyak. Pak Muklis sawah dan kebunnya juga luas".
"Wiiih keren, pak. Bapak berdua benar-benar orang kaya. Saya jamin kalau masuk hotel bintang lima di Jakarta, satpam pasti minder."
"Hahahahah!" Â Lagi-lagi kami tertawa. Serempak. Spontan. Alami. Tanpa perlu perintah komando.
"Saya pamit ya pak, Saya mau keliling dulu. Semoga ketemuan lagi untuk ngobrol". Kata saya setelah membayar 15 ribu upah tambal ban.
"Iya, Den...salam untuk om mu ya. Bilang aja dari kami teman kecilnya dulu. Oh ya, kalau nanti mau pulang lagi ke Jakarta singgah ke rumah ya. Nanti saya kasi oleh-oleh tempe sebesar batu bata, heheh". Â Kata pak Muklis sambil tertawa. Kali ini dia tampak lebih berani bicara duluan.
"Siyaap, pak!"
Akupun pamit dari tempat tambal ban yang sejuk tadi.
Di perjalanan, angin menerpa wajahku saat berkendara motor. Aku teringat lagi pembicaraan tentang Om Kardus. Tapi mendadak muncul wajah Raisa pacarku yang cantik berwajah eksotis khas Indonesia. Dia mirip artis Anggun C. Sasmi. Kalau saja dulu aku bercandain dia berwajah kampung, sudah pasti aku tak akan pernah jadi pacarnya hingga kini. Apalagi sainganku di kampus, segudang. Â Aaaw...aaaww!
----
Peb/05/11/2018