"Kalau becanda di kelompok kesil teman-teman dekat sih mungkin terdengar gak apa-apa Den. Lhaa...ini di depan orang banyak. Â Mana lagi nadanya keras gitu. Sombong banget dia. Mentang-mentang orang kaya!"
Aku makin tak berani tertawa. Senyumku cukuplah. Setidaknya untuk meredakan suasana.
Si Bapak gemuk itu tampaknya melihat raut wajahku yang berusaha menahan tawa. Lalu dia berkata,
"Den Bagus ini siapa? Kok malah senyum-senyum? Den Bagus pendukung Om Kardus ya?"
Aku tersentak. Kaget.
"Ah, Â bukan pak. Saya bukan pendukung Om Kardus. Kalau saya pendukung, tentu saya hadir di alun-alun itu."
"Lhaa, kok senyam-senyum dan membela dengan mengatakan Om Kardus itu cuma bercanda?"
"Kebetulan saya tahu banyak tentang Om Kardus itu sejak masa kecilnya, pak. Dia itu dulu berteman dengan om saya. Dan om saya banyak cerita tentang dia".
"Siapa nama om, mu?" Tanya si bapak gemuk.
Kujawab. "Om Suprik, Om Ndut. Om Ndon. Ketiganya itu adik ibu saya, pak. Dulu waktu kecil mereka sering dipanggil kerumah Om Kardus untuk melihat alat-alat permainannya yang dibeli dari kota".
"Ooh, Den Bagus itu ponakan Suprik, Ndut, dan Ndon? Weaaalaah...aku ini teman main mereka juga waktu kecil". Kata si Bapak. Kali ini nadanya sudah ceria. Aku pun senang.