Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Om Kardus dan Muka Orang Kampung

5 November 2018   13:09 Diperbarui: 5 November 2018   13:58 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : pixabay.com

Apes! Dalam seminggu ini sudah dua kali ban motorku bocor, padahal baru kuganti bulan lalu.

Dasar kampret! Waktu ganti ban dalam itu, velk dalam tidak dilapisi potongan ban bekas oleh tukang bengkelnya. Waktu itu alas yang lama dilepas. Kata si tukang bengkel akan digantinya dengan alas baru. Biar sama-sama baru.

Tapi nyatanya alas velg tidak dipasang. Mungkin dia lupa. Atau justru sengaja, biar orang cepat ganti ban? Aku sendiri pun tidak memperhatikan.  Setelah ban bocor beberapa hari lalu baru ketahuan. Tapi sudah terlambat. Ban dalam sudah  terlanjur jadi tipis.

Saat pertama kali bocor seminggu lalu, tukang tambal menyarankan ban dalam diganti saja karena sudah tipis tekikis besi permukaan velg dalam. Tapi aku menolaknya. Pun kupikir ban dalam itu masih baru, mosok baru dibeli harus diganti? Emang gue cowok apaan?

Ini bukan salah ban dalam baru. Tapi ulah kelakuan tukang bengkel terdahulu yang kerjanya sembrono. Maunya duit saja tapi kerjanya tak becus. Belakangan aku baru tahu, bengkel itu kini jadi sepi karena banyak pelanggan yang kecewa. 

Kini, kali kedua ban dalam itu bocor. Tukang tambal juga menyarankan ban dalam diganti saja. Tapi kembali aku tolak. Toh walau jadi tipis, velg dalam sudah dipasang alas. Lagipula bocor kali ini karena paku. Mungkin dari rumah tetanggaku yang sedang direhab. Material bekasnya berserakan di tepi jalan.

"Bang, tumben jalan ini jadi rame. Orang-orang itu pada mau kemana?"

Kutanya si tukang tambal ban yang sedang bekerja. Kebetulan motorku dapat antrian ketiga. Tak apalah menunggu. Hari ini aku tak punya kegiatan. Tadi keluar rumah hanya untuk keliling kampung mencari ide, sekalian cuci mata.

Sepintas dia memandang ke arah jalan. Banyak orang bagai terburu-buru menuju satu arah. Ada yang jalan kaki, naik sepeda, dan kendaraan bermotor.

"Oh, mereka sedang menuju alun-alun kampung, boss. Katanya sih Om Kardus mau kampanye di sana"

"Ooh, si Om Kardus"

Hanya itu yang keluar dari bibirku, sembari aku mencari-cari smartphone ku di dalam tas kecilku. Kuatir lupa kubawa.

sumber gambar : pixabay.com
sumber gambar : pixabay.com
Om Kardus berasal dari kampung sebelah. Ini kali kedua dia mencalonkan diri jadi kepala desa. Desa kami ada empat kampung. Dulu, dia hanya menang di kampungnya sendiri, itupun menang tipis. Sementara tiga kampung lagi dia kalah telak.

Aku jadi teringat cerita beberapa Om ku dari adik-adik ibuku. Om Kardus dulu adalah teman para om ku. Mereka banyak cerita soal kehidupan Om Kardus. Jadi aku banyak tahu tentang Om Kardus.

Nama Om Kardus hanya sebutan saja. Sejak kecil dipanggil 'Kardus' oleh anak-anak kampung. Dia bangga dengan sebutan nama itu. Sebenarnya dia punya nama lengkap yang bagus. Nama yang khas keturunan orang kaya.

Om Kardus memang berasal dari keluarga kaya. Kakek dan orang tuanya kaya dan terpelajar. Dia sendiri pun sebenarnya terpelajar dan kaya. Sekolahnya di kota besar dan di luar negeri. Entah luar negeri mana, tak banyak orang kampung tahu.

Sejak kecil mainannya buatan pabrik, mulai dari mobil-mobilan, robot-robotan, pistol-pistolan,  senapan, truk, tank, kapal dan banyak lagi permainan perang yang digerakkan mesin otomatis. Keren deh.

Sangat berbeda dengan anak-anak kampung, yang kebanyakan permainannya dibuat dari kayu, bambu hutan, kulit jeruk, karet bekas sandal tebal yang biasanya terhanyut di kali yang dipungut anak-anak kampung untuk dibikin mainan.

Dulu, kalau si Kardus dibelikan orang tuanya  mainan baru dari kota, maka dia akan panggil anak kampung teman sepermainannya. Dia akan pamer saat pertama kali membukanya dari kardus.

Mata anak-anak kampung akan terbelalak. Berdecak kagum. Bukan hanya pada mainan itu saja, tapi kardusnya juga terlihat hebat dan mewah. Lipatan dalamnya rumit. Gambarnya menarik. Biasanya di dalam kardus itu dilapisi gabus putih.  Kardus itu selalu dia simpan. Padahal anak-anak kampung berharap dia membuangnya, dan akan dipungut mereka.

Pernah om ku minta kardus itu untuk dibuat mainan, tapi si Kardus tidak memberikan, sambil marah-marah. Katanya, kalian tidak paham soal kardus ini. Kardus itu hanya untuk menyimpan mainan orang kaya. Mainan hebat. Bukan mainan dari kulit jeruk atau bekas sandal.

Sejak saat itu tak ada yang berani minta. Mereka hanya menonton saja ketika dia memainkan permainan barunya di teras depan rumahnya. Dia terlihat bangga dan merasa hebat diantara anak-anak kampung yang memandang penuh kagum pada mainan barunya.

Anak-anak kampung hanya datang ketika dipanggil oleh si Kardus ketika ada mainan baru. Hari-hari berikutnya, dia akan main sendiri. Sampai bosan. Tidak ada lagi anak kampung yang boleh ikut main.

Tapi anak-anak kampung tidak kecil hati. Mereka banyak memiliki permainan yang dilakukan bersama-sama. Seringkali justru dari balik pagar rumahnya yang luas dan megah, si Kardus itu terlihat menonton anak-anak kampung bermain.

Si Kardus dilarang bermain jauh oleh orang tuanya. Dia hanya menonton saja dari teras rumahnya, atau dikawal pembantu rumahnya saat menonton anak-anak kampung berenang di kali,  main bola saat hujan, sambil bersimbah lumpur penuh keceriaan dunia kanak-kanak.

Anak-anak kampung sering mengajak serta si Kardus untuk turut bermain. Tapi dia selalu menggelengkan kepala. Pelan. Mungkin mau ikutan, tapi takut dengan larangan orang tuanya. Katanya, orang tuanya melarang dia main kotor, nanti bisa korengan, cacingan atau masuk angin.

Begitulah benakku melayang-layang tentang si Kardus. Sampai dia dewasa sebutannya jadi Om Kardus. Dan dia tetap bangga dengan sebutan itu karena mungkin sebagai petanda dia orang kaya sejak kecil hingga dewasa. Kenyataannya memang begitu, tak bisa dibantah.

Tiba-tiba...

"Boss, gak ikut orang-orang ke alun-alun? Sapa tau Om Kardus bagi-bagi duit. Lumayan kan buat beli pulsa, hehehehe!".  Kata Tukang tambal ban itu sambil terus bekerja.

Saat dia tertawa, kulihat badannya terguncang-guncang. Lucu. Bahagia. Entah apa yang ada dipikirannya sehingga terlihat bisa ketawa begitu nikmat.

"Kalau boss mau ikutan ke alun-alun, pakai aja dulu motor saya. Tuh!"

Kata tukang tambal itu sembari menunjuk motor bututnya. Lebih tepatnya motor modifikasi. Body motornya hasil kanibal dari berbagai motor, jadi tak jelas merknya.

"Ogaah, emang aku cowok apaan mau dengar janji-janji Om Kardus. Lha, abang sendiri kok gak ikutan orang-orang itu ke alun-alun? Kan lumayan dapat uang pulsa."

"Saya juga ogaah, boss. Emang saya tukang tambal apaan? Tau sendirilah siapa Om Kardus itu. Dari dulu cuma omong doang."

Hahahaha! Spontan kami pun serentak tertawa. Heran juga, kok bisa bareng. Tanpa dikomando.

Dia terlihat terus bekerja dengan peralatan bengkelnya. Sementara aku duduk syantik di bangku unik terbuat dari ban mobil bekas. Terasa nyaman. Tempat itu sejuk, berada di bawah pohon besar di tepi jalan utama. Lokasi yang strategis untuk usaha dan cuci mata.

Aku kemudian tenggelam dalam smartphone ku. Senyam-senyum sendiri membaca komen di grup medsos, WA, FB dan twitter. Sesekali aku menuliskan balasan yang sexy yang akan mengundang followerku komen balik.

Inilah kenikmatan wasting time! Kalau sudah begini, aku benar-benar jadi cowok keren. Fans ku banyak di medsos. Heu heu heu...

+++

Saat aku sedang asyik dengan smartphone, tiba-tiba datang dua orang bapak. Yang satu kurus dan satunya agak gemuk dengan rambut beruban. Yang gemuk menuntun motornya diikuti yang kurus sembari membawa dua helm kumal.

Dia nmemarkirkan motornya. Kulihat ban belakang motor itu kempes.

"Bocor, pak?" Tanya ku basa-basi.

"Iya nih nyebelin!" Kata bapak yang gemuk, sambil menuju tempat duduk panjang dari kayu.

"Pak, mau menunggu sebentar?Saya kerjakan dulu dua motor ini baru punya bapak, ya."  Kata si Tukang tambal ban.

"Iya, pak. Ndak apa-apa. Ini sambil dinginkan badan dan hati.  Tadi nyurung motor dari alun-alun yang nyebelin."

Aku tertarik dengan kata "ngebelin" yang keluar dari mulut si bapak gemuk itu.

"Emang kenapa alun-alun itu nyebelin pak?"  Tanyaku.

" lho, si Kardus itu tadi pidato. Dalam pidatonya dia menghina orang-orang kampung kita.  Katanya, wajah orang kampung kita gak punya tampang jadi orang kaya. Kalau ke hotel bintang lima di kota akan diusir satpam. Banyak lagi deh!"

"Lho, yang bener pak?"  Tanya ku karena kaget.

"Iya, bener Den! Ini saya rekam pakai hape saya. Nih..lihat saja." Si bapak itu menyodorkan hapenya. Kulihat rekaman itu dengan seksama. Tak ketinggalan, si tukang tambal ban ikut nimbrung di sampingku.

Aku senyam-senyum saja. Sebenarnya  ingin tertawa keras. Kurasa ini kejadian lucu. Om Kardus datang untuk kampanye. Dia perlu dukungan suara. Harusnya dia baik-baikin orang kampung, tapi ini malah melecehkan.

Aku pun berkomentar.

"Pak, mungkin Om Kardus bermaksud bercanda aja. Tidak serius".

"Becanda apa kayak gitu, Den. Ya, namanya melecehkan tho!"  Terdengar nada tinggi dari si bapak yang kurus.

Kemudian si bapak yang gemuk ikut menimpali.

"Kalau becanda di kelompok kesil teman-teman dekat sih mungkin terdengar gak apa-apa Den. Lhaa...ini di depan orang banyak.  Mana lagi nadanya keras gitu. Sombong banget dia. Mentang-mentang orang kaya!"

Aku makin tak berani tertawa. Senyumku cukuplah. Setidaknya untuk meredakan suasana.

Si Bapak gemuk itu tampaknya melihat raut wajahku yang berusaha menahan tawa. Lalu dia berkata,

"Den Bagus ini siapa? Kok malah senyum-senyum? Den Bagus pendukung Om Kardus ya?"

Aku tersentak. Kaget.

"Ah,  bukan pak. Saya bukan pendukung Om Kardus. Kalau saya pendukung, tentu saya hadir di alun-alun itu."

"Lhaa, kok senyam-senyum dan membela dengan mengatakan Om Kardus itu cuma bercanda?"

"Kebetulan saya tahu banyak tentang Om Kardus itu sejak masa kecilnya, pak. Dia itu dulu berteman dengan om saya. Dan om saya banyak cerita tentang dia".

"Siapa nama om, mu?" Tanya si bapak gemuk.

Kujawab. "Om Suprik, Om Ndut. Om Ndon. Ketiganya itu adik ibu saya, pak. Dulu waktu kecil mereka sering dipanggil kerumah Om Kardus untuk melihat alat-alat permainannya yang dibeli dari kota".

"Ooh, Den Bagus itu ponakan Suprik, Ndut, dan Ndon? Weaaalaah...aku ini teman main mereka juga waktu kecil". Kata si Bapak. Kali ini nadanya sudah ceria. Aku pun senang.

Lalu si Bapak gemuk itu bercerita sedikit tentang masa kecilnya bersama para om ku. Ditimpali oleh si Bapak yang kurus. Cukup seru. Walau sebagian inti cerita tadi sudah pernah aku dengar dari para Om ku.

Oh, iya....si Suprik, Ndut, dan Ndon sekarang dimana? Saya dengar  mereka kerja di Jakarta dan luar negeri, ya?

"Iya, pak. Om Suprik sekarang di Amerika. Dia jadi dosen dan profesor di sana. Om Ndut jadi dokter  spesialis saraf dan kerja di Australia. Sedangkan om Ndon direktur di perusahaan Amerika yang berkantor di  Singapura."

 Ada  perasaan bangga dalam hatiku saat mengatakan kiprah para omku itu.

"Wiiih hebat teman-temanku itu. Gak nyangka nasib orang ya. Dulu sama-sama main bola di lapangan becek. Berenang di kali. Main mobil-mobilan dari kulit jeruk...sekarang mereka jadi orang hebat!"

Begitulah kata-kata yang keluar spontan dari mulut si Bapak gemuk itu.

"Oh ya, si Tipuk.. adik om mu atau adik ibumu, sekarang dimana?"

"Oh, dia itu kerja di kementrian luar negeri pak. Sekarang bertugas dan tinggal di Rusia." Jawabku, tentang kakak tertua ibuku itu.

"Waah hebat kalian". Kata si Bapak gemuk .

Kemudian ditimpali si Bapak kurus.

"Iya, dasar si Kardus orang kaya tapi kurang inpormasi. Tak tahu dia kalau orang kampung kita banyak yang hebat."

Aku terdiam. Tapi kemudian berkata.

"Pak, tak usahlah dipermasalahkan kata-kata Om Kardus itu. Dia tidak tahu apa yang dia katakan.  Kata orang bijak, orang yang suka 'ngenyek' itu karena cemburu. Anggap saja dia cemburu sama orang kampung yang selalu bahagia. Kita tak perlu ikutan cemburu sama dia. Dari situ, orang banyak bisa menilai kepemimpinan dia. Satu lagi, pak...dia kan datang ke sini karena butuh suara orang kampung. Naah...tinggal orang kampung nanti menentukan sikap dalam Pilkades. Iya, kan? Apakah orang kampung butuh pemimpin seperti Om Kardus?"

Kedua bapak itu tampak terdiam. Si Tukang tambal pun terdiam, berhenti dari aktifitasnya. Kemudian dia berdiri dan berkata.

"Boss, motornya sudah beres,  nih. Kalau bocor lagi, dibawa ke sini lagi ya. Gratis! Tapi kalau mau ganti ban baru, saya punya jenis ban dalam yang kuat."

"Oh iya, pak siyaap!"  Kataku, sembari beres-beres smartphone dan charger ke dalam tas kecilku.

"Oh ya Den Bagus. Siapa namamu? Sedang apa kamu di kampung ini?" Tanya bapak yang gemuk.

"Saya biasa dipanggil pepeb, pak....nama saya Pebrianov. Tinggal  dan kerja di lembaga penelitian di Jakarta. Disini saya sedang penelitian kerjasama dengan PBB, pak. Saya masih bujangan pak"

"Walaah, anak muda. Orang kampung namanya mirip orang Rusia. Pasti Den Pebrianov cocok jadi orang kaya." Kata si bapak gemuk tadi.

"Hahahahahha!" Serempak kami berempat ketawa. Sekali lagi, tanpa komando.

"Oh iya, bapak namanya siapa? Maaf, kerja dimana?"   Tanyaku sambil menghampiri dan menyodorkan tangan untuk salaman.

"Saya pak Onjek. Pemilik usaha kolam ikan lele dan mujair, juga ternak sapi perah di kampung".  Kata si bapak gemuk.

"Saya pak muklis, petani sawah dan kebun petai. Saya juga usaha tempe". Kata si Bapak yang kurus.

Lalu si Tukang tambal berkata kepada saya,  "Boss...kedua bapak ini juragan di kampung. Pak onjek kolam lele dan mujairnya luas. Susu sapinya banyak. Pak Muklis sawah dan kebunnya juga luas".

"Wiiih keren, pak. Bapak berdua benar-benar orang kaya. Saya jamin kalau masuk hotel bintang lima di Jakarta, satpam pasti minder."

"Hahahahah!"  Lagi-lagi kami tertawa. Serempak. Spontan. Alami. Tanpa perlu perintah komando.

"Saya pamit ya pak, Saya mau keliling dulu. Semoga ketemuan lagi untuk ngobrol". Kata saya setelah membayar 15 ribu upah tambal ban.

"Iya, Den...salam untuk om mu ya. Bilang aja dari kami teman kecilnya dulu. Oh ya, kalau nanti mau pulang lagi ke Jakarta singgah ke rumah ya. Nanti saya kasi oleh-oleh tempe sebesar batu bata, heheh".  Kata pak Muklis sambil tertawa. Kali ini dia tampak lebih berani bicara duluan.

"Siyaap, pak!"

Akupun pamit dari tempat tambal ban yang sejuk tadi.

Di perjalanan, angin menerpa wajahku saat berkendara motor. Aku teringat lagi pembicaraan tentang Om Kardus. Tapi mendadak muncul wajah Raisa pacarku yang cantik berwajah eksotis khas Indonesia. Dia mirip artis Anggun C. Sasmi. Kalau saja dulu aku bercandain dia berwajah kampung, sudah pasti aku tak akan pernah jadi pacarnya hingga kini. Apalagi sainganku di kampus, segudang.  Aaaw...aaaww!

----

Peb/05/11/2018

Cerpen ini dibuat dalam untuk Event Fiksi [Cemburu]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun