Anak-anak kampung hanya datang ketika dipanggil oleh si Kardus ketika ada mainan baru. Hari-hari berikutnya, dia akan main sendiri. Sampai bosan. Tidak ada lagi anak kampung yang boleh ikut main.
Tapi anak-anak kampung tidak kecil hati. Mereka banyak memiliki permainan yang dilakukan bersama-sama. Seringkali justru dari balik pagar rumahnya yang luas dan megah, si Kardus itu terlihat menonton anak-anak kampung bermain.
Si Kardus dilarang bermain jauh oleh orang tuanya. Dia hanya menonton saja dari teras rumahnya, atau dikawal pembantu rumahnya saat menonton anak-anak kampung berenang di kali, Â main bola saat hujan, sambil bersimbah lumpur penuh keceriaan dunia kanak-kanak.
Anak-anak kampung sering mengajak serta si Kardus untuk turut bermain. Tapi dia selalu menggelengkan kepala. Pelan. Mungkin mau ikutan, tapi takut dengan larangan orang tuanya. Katanya, orang tuanya melarang dia main kotor, nanti bisa korengan, cacingan atau masuk angin.
Begitulah benakku melayang-layang tentang si Kardus. Sampai dia dewasa sebutannya jadi Om Kardus. Dan dia tetap bangga dengan sebutan itu karena mungkin sebagai petanda dia orang kaya sejak kecil hingga dewasa. Kenyataannya memang begitu, tak bisa dibantah.
Tiba-tiba...
"Boss, gak ikut orang-orang ke alun-alun? Sapa tau Om Kardus bagi-bagi duit. Lumayan kan buat beli pulsa, hehehehe!". Â Kata Tukang tambal ban itu sambil terus bekerja.
Saat dia tertawa, kulihat badannya terguncang-guncang. Lucu. Bahagia. Entah apa yang ada dipikirannya sehingga terlihat bisa ketawa begitu nikmat.
"Kalau boss mau ikutan ke alun-alun, pakai aja dulu motor saya. Tuh!"
Kata tukang tambal itu sembari menunjuk motor bututnya. Lebih tepatnya motor modifikasi. Body motornya hasil kanibal dari berbagai motor, jadi tak jelas merknya.
"Ogaah, emang aku cowok apaan mau dengar janji-janji Om Kardus. Lha, abang sendiri kok gak ikutan orang-orang itu ke alun-alun? Kan lumayan dapat uang pulsa."