Hidangan makan siang tersuguh berupa-rupa, begitu khas ala masakan Ibu yang penuh rempah. Ibu memang pandai memasak rempah daging sebagai perempuan dari Langowan. Sembari menunggu kehadiran Hashim di meja makan, aku dan Ibu terus saja berbincang.Â
"Leluhurmu juga dari Jerman," kata Ibu tersenyum lebar.
"Tapi Ibu belum cerita banyak tentang Jerman."
Lantas Ibu mengatakan bahwa Jerman adalah kota lama yang ia rindukan. Ibu pun berbagi cerita tentang kemasyhuran Sungai Rhein, sebuah sungai yang membelah panjang Eropa. Â Â
"Jangan gombal loh sama cewek Jerman," Ibu tiba-tiba saja ingin membelokkan arah perbincangan, dan kembali menatapku dengan senyum lebar. Â Â
Kontan saja aku membalas dengan tawa kecil. Namun, perlahan aku merasakan hal yang berbeda. Di balik kata-kata yang baru saja Ibu lontarkan seakan terselip sebuah maksud lain. Sejauh ini, kurasa Ibu belum pernah berpesan apa pun tentang perempuan.Â
"Perempuan Jerman tidak suka pria gombal," kata Ibu lagi diiringi tawa sebentar. Aku tahu ini gurauan, tetapi kecurigaanku justru semakin dalam. Aku pun membatin, jangan-jangan Ibu ingin bicara tentang perempuan pendamping hidupku. Â Â
"Gombal melulu," Hashim menimpali dan duduk di sampingku. "Gombal itu apa sih?"
"Gombal itu empal," aku menunjuk daging yang berada di atas piring.
"Berarti gombal enak, dong."Â
Kontan saja kami tertawa. Ibu tak pernah bertanya mengapa aku belum tertarik untuk melamar gadis-gadis yang berhubungan baik denganku, meskipun sudah tahu betapa dekat hubunganku dengan gadis dari Jogja itu. Mungkin saja Ibu akan menyukainya karena dia gadis pintar dengan wajah tirus yang manis pikirku.Â