Mohon tunggu...
A.A. Sandre
A.A. Sandre Mohon Tunggu... penikmat kata dan kopi

sekata sekopi

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Anak Pejuang (Bagian III)

6 Juli 2025   18:47 Diperbarui: 15 September 2025   11:29 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kawanan kupu-kupu berwarna menawan yang bertebaran dengan tingkah memikat itu memberi kesan taman ini memang nyaman bertabur keindahan. Lantas aku mengalihkan perhatian pada burung-burung kecil yang hinggap di tanah dan menghambur ke sana. 

Aku terus berlari. Sekuat inikah aku? Begitu banyak hal yang tanpa sengaja menuntutku menjadi anak belia yang lekas berpikir dewasa. Lantas aku berhenti berlari, dan melangkah mendekati Ibu yang duduk di atas kursi beton memanjang di tengah taman. 

"Kapan Ibu mencintai Bapak?" kataku setelah duduk di dekat Ibu. Entah apa yang membuat pertanyaan ini singgah di benakku, sehingga aku lancang menyodorkannya. Namun, Ibu tampak senang mendengarnya. 

Tanpa membuang waktu, Ibu mengatakan bahwa perjumpaannya dengan Bapak terjadi di sebuah acara mahasiswa di Rotterdam. "Bapakmu tampil mengagumkan sebagai mahasiswa calon doktor yang berpikiran gemilang," kata Ibu sambil berdiri. 

Aku mengiringi Ibu berjalan di sampingnya. Tatapan Ibu terus mengawasi tingkah Hashim dalam wajah senang. "Lalu bapakmu jatuh sakit dan menjalani perawatan setelah operasi usus besar akibat tumor. Saya merawatnya sampai pulih. Saya beruntung jadi mahasiswi di sekolah keperawatan di kota Utrecht itu."

"Jadi Bapak pasien Ibu?"

Ibu mengangguk, "Bapakmu pasien paling gombal." 

"Saya juga pernah dengar Bapak mengatakan sesuatu tentang Ibu," kataku dengan tingkah menggoda. Aku sengaja menggeleng-gelengkan kepala yang membuat Ibu tak kuasa menahan tawa. 

"Apa katanya?"

"Perlu kamu tahu, Bowo! Ibumu selalu menuduh saya yang naksir duluan. Padahal dia yang naksir saya. Ibumu itu rewel, maunya mengurus saya terus."

Sontak, Ibu kembali tertawa. Kali ini tawa Ibu terdengar begitu ringan, lepas dari beban. "Bapakmu juga pernah mengatakan bahwa saya kualat karena leluhur saya memihak de Kock dalam peperangan Jawa. Sedangkan leluhurnya memihak Pangeran Diponegoro. Jadi saya dihukum harus kawin dengan bapakmu." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun