Mohon tunggu...
A.A. Sandre
A.A. Sandre Mohon Tunggu... penikmat kata dan kopi

sekata sekopi

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Anak Pejuang (Bagian III)

6 Juli 2025   18:47 Diperbarui: 15 September 2025   11:29 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber poto: Instagram @prabowo

Melihatku tak henti gelisah, Ibu pun mengatakan bahwa Jaksa Agung Muda Inteligen Priyatna Abdurrasyid tiba-tiba datang menemui Bapak untuk melaksanakan perintah penangkapan. 

Beberapa lama terjadi perdebatan. Bapak menolak tuduhan korupsi yang ditimpakan kepada dirinya. Selain menganggap tuduhan itu perkara yang dibuat-buat, Bapak juga meminta agar hukum tak menjadi alat permainan belaka. 

Priyatna Abdurrasyid berubah pikiran. Dia bersetuju terhadap pendirian Bapak. Rencana penangkapan itu beralih menjadi dukungan. Dia menyarankan agar Bapak segera meninggalkan rumah. 

"Mereka dipersatukan oleh niat suci," wajah Ibu berangsur tenang. 

Jauh sebelum hari ini, Ibu memang sudah mendengar kabar tentang tokoh-tokoh PKI yang mengembuskan tuduhan keji terhadap Bapak dan merancang penangkapannya.

"Bapakmu dan orang-orang berhati kotor itu bagai minyak dan air," suara Ibu terdengar datar. Namun, sorot matanya begitu tajam. "Jaga dirimu!" kata Ibu dan bangkit dari kursi. 

"Ibu juga," kataku lirih.

Ibu mengangguk dengan senyuman, "Bapakmu pejuang politik yang jujur dan berani mempertahankan kebenaran. Jauh dari niat yang tak suci," kata Ibu seraya memegang pundakku dan melangkah pergi.

Aku pun duduk seorang diri. Mencoba memahami apa yang baru saja Ibu katakan. Aku tak ragu untuk membenarkan bahwa memang tidak sulit melihat kejujuran pada diri Bapak. 

Tak ingin menyerah begitu saja, aku berpikir keras untuk mencari cara agar bisa menghibur Ibu. Berharap bisa membawanya gembira. Hingga malam datang, aku masih saja terus berpikir. Berbaring telentang dan hanya menatap ke langit-langit kamar. 

Ada seekor cicak di atas sana yang sedang terdiam. Kami sempat saling melirik. Lantas suatu rencana terlintas di benakku. Senyumku merambat cepat. Aku percaya rencana ini akan membawa Ibu ke dalam suasana baru.

Lalu aku bergegas bangkit dan melangkah keluar kamar menemui Ibu. Aku mengutarakan rencanaku untuk pergi pelesir besok pagi. Tanpa berpikir panjang, Ibu bersetuju.

"Baiklah, kita akan pelesir besok pagi," kata Ibu memeluk tubuhku dengan erat.

Pagi yang kutunggu telah tiba. Mentari datang dengan sinar terang. Ibu baru saja usai membereskan pekerjaan rumah dan bersiap untuk pergi. Bianti dan Marjani tampak semringah. Begitu juga Hashim yang sudah bersiap. 

"Kita berangkat sekarang," kataku seraya menatap wajah Ibu dengan senyum lebar.

"Hayu," kata Bianti berbinar-binar.

"Aku siap pergi," kata Marjani.

"Aku juga," Hashim menimpali sambil memamerkan tas punggung kecil kesukaannya.   

"Baiklah," kata Ibu.

Kami melangkah meninggalkan rumah dengan hati riang. Cuaca yang cerah memberi kami kemudahan di perjalanan. Jakarta sedang bermandikan cahaya mentari tanpa terhalang mendung. Inilah saat yang paling ditunggu oleh banyak orang di musim penghujan. 

Kini kami menyinggahi taman yang menawan, pemandangan penuh warna. Bunga-bunga terindah sedang mekar. Burung-burung kecil beterbangan dengan sayap yang lincah. 

Ibu kontan tertawa melihat tingkah jenaka Hashim yang sedang tergopoh mengejar seekor kupu-kupu. Sayap kupu-kupu itu berhasil membawanya terus menghindar dari jangkauan tangan Hashim. Bianti dan Marjani juga berkejaran dengan kupu-kupu yang lain. Sesekali aku menyusul berlari di belakang mereka. 

Kawanan kupu-kupu berwarna menawan yang bertebaran dengan tingkah memikat itu memberi kesan taman ini memang nyaman bertabur keindahan. Lantas aku mengalihkan perhatian pada burung-burung kecil yang hinggap di tanah dan menghambur ke sana. 

Aku terus berlari. Sekuat inikah aku? Begitu banyak hal yang tanpa sengaja menuntutku menjadi anak belia yang lekas berpikir dewasa. Lantas aku berhenti berlari, dan melangkah mendekati Ibu yang duduk di atas kursi beton memanjang di tengah taman. 

"Kapan Ibu mencintai Bapak?" kataku setelah duduk di dekat Ibu. Entah apa yang membuat pertanyaan ini singgah di benakku, sehingga aku lancang menyodorkannya. Namun, Ibu tampak senang mendengarnya. 

Tanpa membuang waktu, Ibu mengatakan bahwa perjumpaannya dengan Bapak terjadi di sebuah acara mahasiswa di Rotterdam. "Bapakmu tampil mengagumkan sebagai mahasiswa calon doktor yang berpikiran gemilang," kata Ibu sambil berdiri. 

Aku mengiringi Ibu berjalan di sampingnya. Tatapan Ibu terus mengawasi tingkah Hashim dalam wajah senang. "Lalu bapakmu jatuh sakit dan menjalani perawatan setelah operasi usus besar akibat tumor. Saya merawatnya sampai pulih. Saya beruntung jadi mahasiswi di sekolah keperawatan di kota Utrecht itu."

"Jadi Bapak pasien Ibu?"

Ibu mengangguk, "Bapakmu pasien paling gombal." 

"Saya juga pernah dengar Bapak mengatakan sesuatu tentang Ibu," kataku dengan tingkah menggoda. Aku sengaja menggeleng-gelengkan kepala yang membuat Ibu tak kuasa menahan tawa. 

"Apa katanya?"

"Perlu kamu tahu, Bowo! Ibumu selalu menuduh saya yang naksir duluan. Padahal dia yang naksir saya. Ibumu itu rewel, maunya mengurus saya terus."

Sontak, Ibu kembali tertawa. Kali ini tawa Ibu terdengar begitu ringan, lepas dari beban. "Bapakmu juga pernah mengatakan bahwa saya kualat karena leluhur saya memihak de Kock dalam peperangan Jawa. Sedangkan leluhurnya memihak Pangeran Diponegoro. Jadi saya dihukum harus kawin dengan bapakmu." 

Aku mengangguk senang. Menunggu apa yang akan kembali Ibu lontarkan. Detik-detik ini menjadi momen langka melihat Ibu salah tingkah dalam wajah berbinar-binar. 

Ibu mengatakan sangat mencintai Bapak. Bahkan Ibu berterus-terang rela mengayuh sepeda dari Utrecht ke Rotterdam demi merawat Bapak sampai menemukan kesembuhan. 

Bapak telah terbaring sakit selama setahun. Hingga di sebuah pagi, Bapak mendengar siaran Radio Hilversum yang menyiarkan kabar tentang kemerdekaan Indonesia. Kabar itu memberi Bapak sugesti untuk lekas sembuh.

"Saya rela ditinggal lama bapakmu saat umur pernikahan kami baru enam bulan. Bapakmu harus berangkat sebagai delegasi Indonesia di Sidang PBB," Ibu berujar dengan mata bersinar, "Bapakmu pejuang yang teguh."

Aku pun tersenyum puas. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun