Dalam ranah administrasi publik, kita mengenal banyak pendekatan terhadap kepemimpinan: transformasional, transaksional, karismatik, hingga kepemimpinan etis. Namun belakangan ini, saya sebagai bagian dari birokrasi yang sehari-hari bersinggungan dengan berbagai kebijakan dan dinamika internal merasa ada satu pendekatan yang luput dari telaah ilmiah: kepemimpinan cermin.
Apa itu kepemimpinan cermin? Ini adalah bentuk kepemimpinan yang tidak lahir dari refleksi, tetapi dari obsesi terhadap bayangan diri. Pemimpin jenis ini tidak memimpin berdasarkan nilai, visi, atau kompetensi, melainkan pada seberapa baik ia terlihat di depan kamera, di forum-forum seremonial, atau dalam alinea pertama siaran pers kementerian.
Saya semula mengira ini adalah kelakar semata, sampai saya menyaksikan sendiri bagaimana keputusan penting dapat tertunda hanya karena sang pemimpin "belum mendapat arahan dari media sosial", atau bagaimana pertemuan-pertemuan strategis berubah menjadi sesi monolog berkepanjangan yang intinya hanya satu: citra.
Mengapa ini bisa terjadi?
Pertama, bisa jadi ini merupakan hasil dari kebingungan epistemologis. Dalam kajian ilmu administrasi publik, ada istilah "bounded rationality" yang dicetuskan oleh Herbert Simon gagasan bahwa pengambil kebijakan sering kali membuat keputusan dalam keterbatasan informasi dan kapasitas kognitif. Namun dalam kasus ini, keterbatasannya bukan pada informasi atau kemampuan, melainkan keberanian berpikir jernih di luar sorotan kamera. Alih-alih rasionalitas terbatas, kita berhadapan dengan kehendak terbatas untuk belajar.
Kedua, ada kemungkinan terjadi dekadensi moral birokrasi. Teori etika publik yang seharusnya menjadi acuan, seperti utilitarianisme (mengedepankan kemaslahatan banyak orang) atau deontologi (menjunjung kewajiban dan norma), digantikan oleh prinsip baru: opportunitarianisme, yaitu seni membaca peluang untuk menjaga jabatan, meski dengan mengorbankan akal sehat dan integritas.
Ketiga, dan ini yang paling mencemaskan, adalah bahwa gaya kepemimpinan semacam ini mungkin memang ditumbuhkan secara sistemik. Dalam konteks budaya politik patrimonialistik, seperti yang dijelaskan oleh Syed Hussein Alatas dan ilmuwan sosial Asia Tenggara lainnya, struktur kekuasaan seringkali berbasis pada loyalitas personal dan bukan kompetensi. Maka wajar bila seorang pemimpin lebih sibuk menjaga hubungan hierarkis ketimbang mengelola sistem secara rasional.
Di tengah semua itu, saya bertanya dalam hati: apakah kami ini bagian dari organisasi, atau sekadar properti dalam panggung besar pertunjukan kekuasaan? Dampaknya tidak main-main. Banyak kebijakan strategis tidak lahir dari kajian dan musyawarah, melainkan dari mimpi sang pemimpin malam sebelumnya, yang kemudian harus disulap menjadi naskah teknokratis oleh bawahan. Ketika kami mencoba memberi masukan berbasis data, sang pemimpin justru tampak gusar, mungkin karena grafik tidak bisa dibaca seperti caption Instagram.
Saya pernah dan sering membawa data, kajian ilmiah, dan hasil evaluasi lapangan. Tapi semua itu seperti membawa buku ke tengah pesta dansa: tidak menarik, tidak penting, dan dianggap mengganggu suasana. Sebaliknya, satu kutipan dari tokoh viral bisa menjadi dasar kebijakan nasional.
Maka, saya pun mulai membaca ulang Plato, yang dalam The Republic menggambarkan betapa rusaknya polis ketika yang memimpin bukanlah philosopher-king, melainkan mereka yang senang memimpin tanpa memahami makna kepemimpinan. Namun saya sadar, mengharapkan seorang filsuf menjadi pemimpin dalam sistem kita hari ini mungkin seperti berharap matahari terbit dari utara: indah dalam puisi, mustahil dalam praktik.