Mohon tunggu...
Parlin Tua Sihaloho
Parlin Tua Sihaloho Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menulis, membaca dan menonton

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jangan Tepuk Tangan untuk Negara yang Sekadar Menjalankan Tugasnya

11 Juni 2025   19:33 Diperbarui: 11 Juni 2025   19:33 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pejabat konoha (Creative by AI)

Dalam dinamika pemerintahan, kita sering menyaksikan pejabat publik menerima tepuk tangan hanya karena menjalankan tugas yang memang menjadi kewajiban dasarnya. Entah karena membenahi infrastruktur yang rusak bertahun-tahun, merespons protes rakyat, atau memperbaiki kebijakan yang sudah lama cacat. Fenomena ini terjadi hampir di semua lini pelayanan publik: kesehatan, pendidikan, lingkungan, sampai sektor administrasi.

Namun, pertanyaannya: apakah pantas negara dipuji karena melakukan apa yang memang sudah seharusnya dikerjakannya?

Dalam teori administrasi publik klasik seperti yang diuraikan Max Weber, negara dibentuk sebagai entitas rasional-legal yang bertugas menyelenggarakan pelayanan untuk warga negara berdasarkan hukum dan prinsip-prinsip fungsionalitas. Pelayanan publik, dalam kerangka ini, bukanlah hadiah atau kemurahan hati pemerintah. Ia adalah mandat. Etika publik sebagaimana dikembangkan oleh John Rawls dan Michael Sandel menyatakan bahwa keadilan sosial dan tanggung jawab negara bukan soal belas kasihan, melainkan kewajiban moral dan institusional. Maka, memuji negara karena membangun jalan yang sudah rusak bertahun-tahun, atau karena memperbaiki layanan pendidikan yang telah lama tertinggal, adalah kekeliruan logika publik. Ia ibarat memuji pemadam kebakaran yang datang terlambat ke lokasi, namun minta tepuk tangan karena berhasil memadamkan sisa api. Kecenderungan memberi apresiasi berlebihan pada pejabat publik karena tindakan-tindakan biasa, membuka ruang bagi apa yang disebut dalam literatur politik sebagai performative governance. Istilah ini merujuk pada praktik pemerintahan yang lebih fokus pada pencitraan dan simbolisme, daripada transformasi substantif.

Saat pejabat publik lebih peduli pada bagaimana mereka dipersepsi dibanding bagaimana mereka memperbaiki sistem, maka pelayanan publik dikerdilkan menjadi alat legitimasi kekuasaan. Dalam banyak kasus, tindakan korektif ditampilkan sebagai prestasi, sementara akar kesalahan sistemik---seperti buruknya perencanaan anggaran, rendahnya partisipasi publik, atau ketimpangan akses---dibiarkan mengendap.Michel Foucault mengingatkan bahwa kuasa tidak hanya bekerja melalui struktur, tapi juga melalui narasi. Ketika negara membingkai kewajiban sebagai pencapaian, ia sedang membajak kesadaran publik agar melihat negara sebagai pahlawan, bukan pelayan. Apresiasi yang berlebihan terhadap negara yang hanya menjalankan tugasnya, berisiko menumpulkan kesadaran kritis masyarakat. Hal ini berdampak langsung pada kualitas demokrasi. Rakyat yang terlalu cepat bersyukur menjadi rakyat yang lemah dalam menuntut hak. Negara yang terlalu cepat dipuji menjadi negara yang lambat berbenah.

Dalam perspektif ekonomi politik, situasi ini menciptakan *moral hazard*. Negara tidak belajar dari kesalahan karena tahu bahwa perbaikan setengah hati pun bisa menghasilkan pujian publik. Akibatnya, tidak ada insentif untuk membangun sistem yang berkelanjutan dan berorientasi pada keadilan jangka panjang .Yang dibutuhkan dalam pelayanan publik bukan euforia, tapi evaluasi. Seberapa setara akses layanan publik di seluruh wilayah? Seberapa transparan proses penyusunan kebijakan? Seberapa responsif lembaga publik terhadap kritik warga? 

Tugas masyarakat sipil bukan memuji negara karena berhasil menjalankan fungsi dasarnya, melainkan memastikan fungsi itu terus berjalan dalam kerangka keadilan sosial, akuntabilitas, dan partisipasi. Kita perlu berani menggeser narasi dari "Wah, hebat negara kita!" menjadi "Mengapa ini baru dilakukan sekarang?" dan "Apa yang bisa diperbaiki lagi?"Negara bukan panggung untuk pahlawan dadakan. Ia adalah sistem yang dibentuk untuk melayani rakyat dengan tata kelola yang adil, efisien, dan terbuka. Ketika negara menjalankan tugasnya, kita tidak sedang menyaksikan keajaiban. Kita hanya melihat satu bagian dari kontrak sosial berjalan sebagaimana mestinya.

"Dalam demokrasi yang sehat, pujian bukan untuk negara yang sekadar sadar tugas, tapi untuk rakyat yang terus sadar haknya. Dan hak itu bukan diberi, tapi diperjuangkan, dipertahankan, dan diawasi setiap hari."



Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun