Setiap kali dunia runtuh, entah karena pandemi, perang, atau pasar keuangan yang goyah, ada sekelompok orang yang justru melihat peluang. Mereka tidak lari dari kekacauan; mereka memburunya. Inilah tokoh-tokoh yang digambarkan Scott Patterson dalam Chaos Kings: How Wall Street Traders Make Billions in the New Age of Crisis.
Di permukaan, kisah mereka terdengar heroik: para visioner yang berani menantang arus, membeli taruhan murah yang hanya berharga ketika bencana datang. Namun, di balik narasi itu, muncul pertanyaan yang lebih mengganggu: jika ada orang yang diuntungkan dari keruntuhan, apakah kita bisa benar-benar berharap sistem ini ingin bertahan?Â
Membaca Ulang "Black Swan"
Patterson tentu tidak bisa menghindari nama besar Nassim Taleb dengan teori Black Swan, yaitu peristiwa langka, tak terduga, yang mengguncang sistem. Bersama Mark Spitznagel, mereka membangun strategi yang terbukti ampuh: berjudi kecil melawan stabilitas, lalu meraup besar saat ketidakpastian meledak.
Tapi ada sudut pandang lain yang jarang diulas reviewer lain: apakah strategi ini murni reaktif, atau justru ikut memperkuat gejolak? Pasar ibarat ekosistem. Jika cukup banyak pemain besar yang bertaruh pada kehancuran, bukankah itu menciptakan ekologi yang lebih rapuh, lebih rentan diguncang oleh kepanikan?
Lifeboat atau Sekoci Emas?
Metafora yang sering muncul adalah "sekoci" bagi portofolio. Mereka yang siap akan selamat saat badai melanda. Namun, ada ironi di sini: sekoci itu tidak menolong siapa pun kecuali pemiliknya. Mereka tidak memperkuat ketahanan masyarakat, tidak mencegah badai, hanya mengubah badai menjadi keuntungan pribadi.
Apakah ini benar-benar proteksi atau sekadar sekoci emas yang terapung di atas penderitaan orang lain?
Dragon Kings dan Batas yang Kabur