Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Pada Titik Aku Mencintaimu, Hidup Tak Boleh Berhenti

2 Februari 2020   20:49 Diperbarui: 3 Februari 2020   20:20 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Pixabay/4startraveler)

Meminjam sebuah petikan dalam syair "Arti penting manusia bukan terletak pada apa yang dia peroleh, melainkan apa yang sangat ia rindukan untuk diraih."

Aku memulai tulisan kecil ini dengan seuntai kalimat brilian dari pujangga masyhur Lebanon, Kahlil Gibran. Kalimat kecil yang merupakan anak kandung hasil perkawinan perasaan dan pikiran Gibran sendiri.

Itu menjadi bukti betapa Gibran adalah orang yang kuat perasaannya. Ia bisa menjelaskan apa saja yang dirasakan hatinya, entah itu luka, cinta, kebahagiaan, atau malah duka kepahitan yang berakhir air mata.
             
Sesungguhnya satu hal telah membuatku nyaris tak bisa berkata-kata. Berat untuk sekadar menulis sebuah frasa, apalagi seberat paragraf, rasanya aku perlu menggerakkan semua kekuatan untuk memulai tulisan ini. Juga semacam ada ketakutan dalam diri untuk memulai bercerita. Aku kehilangan keberanian.

Itulah musabab aku memilih mengutip kata-kata milik Gibran, penyair yang begitu aku sukai semenjak anak-anak, untuk memulai ini.

Entah semenjak kapan cinta itu ada di dunia. Adam yang jadi manusia pertama hanyalah jiwa yang kesepian awalnya. Dimensi pandangannya mengenai cinta hanya tentang hubungannya dengan Tuhan, dan Tuhan dengan alam semesta serta penghuninya.

Adam merasakan gejolak luar biasa di hatinya. Itu gejolak hati paling pertama dalam sejarah kehidupan yang bukan main panjangnya ini. Ada panggilan dalam jiwanya seperti musafir di gurun yang mencari oasis.

Rupanya hati yang Tuhan beri sebagai atribut itu membuat ia merasa kesepian. Ia merasa kehidupan yang dijalaninya belumlah sempurna.

Surga di depan matanya tak serta-merta bisa membuat ia menafikan diri dari kenyataan bahwa ada yang kurang darinya. Bagaimana caranya ia memulai kehidupan dengan perasaan mengganjal itu. Hatinya siang dan malam melakukan panggilan yang amat banyak. Dan Tuhan mendengar suara hatinya.

Dari bagian dirinya Tuhan adakan Hawa, juga dengan hati dan pikiran. Tak cukup itu, Tuhan melengkapi dua manusia pertama ini dengan meniupkan cinta di masing-masing hati mereka. Di situlah kehidupan pertama kali dimulai. Ditandai dengan penyatuan dua insan yang mula-mula ini.

Cinta datang seperti keajaiban. Aku sampai lupa kapan ia pertama kali tercium. Hati yang sekian lama gersang itu tiba-tiba saja dibuat basah. Tuhan yang Maha Kuasa telah meniupkan rahmat hingga ke palung terdalam hati anak manusia.

Tidak ada zat yang bisa mengelaknya. Tak ada jiwa yang bisa menampiknya. Benar rupanya bahwa cinta adalah kepasrahan.

Aku hanyalah anak kecil yang mengisi hari dengan suara parau hingga setengah malam. Setiap hari hanya perihal pencarian benda paling sejati di muka dunia ini: uang. Nyaris tak ada kasih sayang di sana. Semua tentang ketidakmampuan melakukan kendali atas api emosi yang membakar.

Di satu segmen yang sudah tertindas halaman baru kehidupan, aku adalah anak yang suka bertarung.

Di masa lalu ketika pertama kali memulai untuk menyematkan atribut pemuda di dada aku adalah seorang yang bengal. Berkelahi dari satu gang ke gang yang lain, ditahan dari satu pos polisi ke pos pos lainnya. Dihukum dari satu Polsek ke Polsek lainnya. Sampai dihajar hingga lebam oleh polisi gara-gara kerap berkelahi.

Lelaki Bali yang bertugas sebagai polisi di Kota Sorong bahkan pernah bertanya keheranan padaku. "Kenapa ko suka berkelahi? Tidak sayangkah orang tuamu?"

Saya terdiam agak lama. Waktu berlalu begitu cepat. Dunia merekam semua yang tanganku kerjakan. Mataku merekam kerasnya kehidupan. Dan di sana nyaris tidak ada cinta.

Begitu sempit kemungkinan aku bisa jatuh cinta pada sesuatu di masa itu. Hanya ada seorang perempuan yang sempat dengan cukup lama tidur di hati yang sepi.

Entah apa itu cinta atau bukan, tapi ia hilang juga. Entah apa pergi sendirinya atau akulah yang memaksanya pergi. Tak ada rekaman ingatan yang bisa menjelaskannya dengan detail.

Fase hidup yang baru dimulai lagi. Dengan usia yang makin naik. Hati seperti terdorong untuk berubah. Menerima hal-hal baik yang datang, tak terus menerus menampung burik yang merusak.

Rasa tanggung jawab kian membelit setiap menatap wajah ibu. Rasa khawatir semakin menggonggong tiap mendengar suara-suara ibu ketika batuk.

Pelan-pelan aku mulai berani menulis rencana-rencana. Lalu membuka diri untuk sesuatu yang baru. Segalanya berjalan beriringan. Di sisi kiri aku berusaha meredam gejolak buruk di dalam diri, di bagian yang kanan aku terus menggiatkan untuk berubah menjadi diri yang baik dengan sokongan doa-doa seadanya.

Semua berlangsung lama, dan terus begitu hingga kini. Sulit dan terjal. Untuk menuju baik memang selalu butuh upaya lebih. Aku menyadari itu.

Mengenal
"Entah bagaimana Tuhan memulai semuanya. Segalanya menjadi misteri. Bagaimana Tuhan menciptakan cinta, menggerakkan hati, itu yang tak diketahui manusia."

Perempuan itu datang dengan langkah menggontai. Caranya berpakaian amat membosankan. Mungkin ia kurang pandai menyelaraskan busana antara kaki sampai kepala.

Wajahnya agak gelap, barangkali ada di level yang sama dengan wajahku. Bibirnya agak tebal, pertanda ia tak suka berteriak. Matanya bulat. Dan ia coba tersenyum saat aku menatapnya. Tapi aku melewatkan untuk bersulang senyum. Sejak melihatnya aku meyakini ia pasti orang kampung, dan ternyata betul.

Sebagai lelaki yang gemar memerhatikan ihwal keindahan, waktu itu aku memberinya nilai lima dalam barometer. Ia sungguh tak cantik. Meski aku menyadari kecantikan itu milik perempuan tapi aku bersikukuh ia tetap tidak cantik.

Untung saja ia punya senyum yang manis. Lipatan pipi, bukaan bibir, gigi putih, dan sklera mata yang bersih menjadi nilai tambah yang membuatku masih bisa menyapanya. Jika tidak karena itu, aku tak akan menatapnya. Menulis di bagian ini membuatku tersenyum sendiri.

Sejenak segalanya berlalu. Ia sosok yang cukup menyenangkan diajak bercerita. Padanya aku bercerita ini dan itu. Entah apa ia mendengarkan atau hanya dengar-dengar saja, aku tak tahu.

Pada lipatan pikiran aku memang menyukainya. Rasa suka biasa yang memang kerap timbul pada banyak interaksi. Rasa suka yang didorong indera. Tak sampai menjalar di hati. Tak lebih.

Suatu hari, saat interaksi itu kian intens, aku mulai memperlihatkan sikap jahat. Perempuan itu kerap membuat jengkel. Gayanya bikin emosi. Pernah satu kali aku sampai mengepalkan tangan ingin menumbuk apa yang ada di sekitar karena marah.

Ia yang menyadari itu merasa tersudut. Sampai pernah ia akhirnya jatuh air mata. Merasa disakiti. Aku hanya terdiam dan coba minta maaf.

Apakah Ini Cinta?
Di satu malam tiba-tiba saja ada yang menyusup. Seperti memanaskan pembaringan. Wajahnya tiba-tiba muncul di pikiran. Entah bagaimana itu bisa terjadi. Padahal aku memblokir pertemanan dengannya di facebook, jadi toh tak mungkin gara-gara melihat fotonya.

Bermalam-malam lamanya kejadian macam itu berulang. Ketika bertemu pun tak ada lagi perasaan marah-marah. Segalanya berganti menjadi ketertarikan.

Aku mulai menatapnya dengan cara yang lain. Mencoba menelisik lebih dalam di matanya. Dan mulai mengirimi pesan inbox. Menyapanya saat malam dengan gaya manis yang diatur-atur. Barangkali itu membuatnya merasa aneh.

Hari berganti hari. Pertanyaan pun muncul. Ada apa dengan diri ini? Iya aku positif menyukainya. Tapi apa ini cinta?

"Tidak mungkin. Aku tidak mungkin jatuh cinta dengan orang kampung. Meski aku sendiri dari kampung tapi aku ingin naik kelas. Tidak boleh cari orang kampung. Harus orang kota. Lagi pula kulit wajahnya tidak terang-terang amat."

Aku coba mengelak dari perasaan yang membayangi. Tapi semakin berusaha untuk menepis kenyataan itu aku justru jatuh dalam jurang kenyataan bahwa aku mungkin jatuh cinta dengannya.

Pelan-pelan aku menelaah lebih dalam. Mencermati setiap tanda-tanda. Melihat lembar-lembar rekaman kejadian yang telah berlalu. Menghabiskan banyak waktu di malam dan siang untuk berpikir. Ini bukan perkara ecek-ecek.

Aku berusaha mengenali perasaanku sendiri. Sekuat tenaga. Hingga kadang kala aku jadi kesal sendiri dan marah. Itu juga kadang merembes padanya. Aku meyakinkan diriku bahwa ini bukan cinta. Ini hal biasa. Aku tidak jatuh cinta. Begitu, dan begitu. Begitu seterusnya. Sampai aku lelah.

Hingga aku menyadari aku sedang jatuh cinta. Ya, jatuh cinta. Sesuatu yang sungguh tidak terbayangkan sebelumnya.

Berbeda dengan banyak orang di luar sana yang akan dengan mudah mengaku diri jatuh cinta padahal tidak. Aku lebih teliti. Apalagi perihal perasaan. Ini hal serius. Bukan tentang aku saja. Ada orang lain di situ. Aku harus benar-benar mengenali ini.

Suatu malam, pada waktu yang berdekatan, aku pulang kerja dengan begitu lelah. Aku tertidur. Seperti biasa tak ada aktivitas makan malam. Hingga jam 11 malam aku terbangun kembali, teringat diri yang belum sempat salat isya. Di dalam salat itu wajahnya muncul lagi. Itu membuat air mataku jatuh sendirinya.

Setelah salat aku duduk sejenak di atas sajadah lusuh di ruangan rumah yang temaram itu. Air mataku kembali berlinang. Kali ini lebih basah dari sebelumnya.

Aku benar-benar menangis. Pipiku jadi basah. Bahkan suara sesengguk keluar berterbangan di malam sunyi. Aku menangis sejadi-jadinya. Seperti orang yang kehilangan kekasih, seperti orang yang kehilangan cintanya, padahal aku sedang jatuh cinta.

Itu sungguh terjadi. Aku tak mengada-ada. Bukan juga aku cengeng. Toh sudah aku ceritakan di awal bahwa aku adalah anak yang nakal sebelumnya. Tak mungkin aku jatuh air mata. Bahkan ketika bibirku terluka dibogem tangan-tangan besar dan kasar. Aku pantang menangis. Tapi kali ini halnya lain.

Aku menyadari sepenuhnya bahwa Tuhan sedang memberiku cobaan. Tuhan mengujiku dengan jatuh cinta. Teringat seketika sebuah syair bahwa jatuh cinta adalah penyakit. Aku takut tidak akan bisa mengendalikan perasaanku sendiri, menyebabkan aku menangis.

Waktu berjalan terus. Cinta itu tumbuh mekar di hatiku tanpa bisa aku hentikan. Dan dalam kasusnya, cara menghadapi cinta adalah dengan meneguknya, menunaikan cinta itu sebisa mungkin. Dan aku berusaha menunaikan cinta itu padanya.

Padanya aku sebaik mungkin berusaha menjaga meski pernah sampai membuatnya jatuh air mata, aku berusaha untuk selalu ada padahal kenyataannya lebih sering absen, berusaha membuatnya aman meski kenyataannya malah membuatnya kerap sedih, berusaha untuk belajar sabar meski sikap marah-marah itu sulit hilang.

Cinta itu aku tunaikan pelan-pelan. Entah apa ia mencurigai atau tidak. Aku terus menahan diri untuk tidak mengatakannya langsung. Bagiku memang belum saatnya.

Kejadian demi kejadian terlewati. Orang-orang mulai mencurigai. Ia pun pasti merasa lain. Laki-laki yang sering memarahinya malah menjadi seberubah ini. Ia pasti sempat bertanya-tanya. Hingga akhirnya aku berani mengungkapkan rasa itu. Tentu saja dengan sekali percobaan awal.

Kenapa ada percobaan? Karena itu hal terberat yang pernah aku katakan selama menjadi manusia.

Di waktu pertama aku kira aku akan bisa mengatakan cinta padanya. Tapi rupa-rupanya aku kalah berani. Aku sudah duduk di hadapannya, menatap mukanya, saat hendak berkata tiba-tiba dadaku sesak, seperti ada gumpalan yang memenuhi dadaku dan menghalangi satu pun kata yang hendak keluar. Aku berkeringat saat itu. Dan aku gagal mengatakannya.

Besoknya aku kembali mencoba. Kali ini semua keberanian aku kumpulkan. Seperti biasa doa-doa pun aku selipkan. Sesuatu yang aku lupakan sebelumnya. Mungkin itu yang membuatku gagal.

Saat kedua kali sudah duduk di depannya lagi. Sempat terbata-bata di awal aku akhirnya bisa juga mengatakan itu.\

"Beta cinta ose," kataku. Menggunakan bahasa Melayu Ambon. Kata-kata itu keluar dengan napas yang serasa terputus-putus. Seperti ada benda besar yang baru dikeluarkan dari tubuh.

Bukan saja kata-kata itu. Aku masih melanjutkan berkata-kata. Tapi dengan napas yang tidak teratur lagi. Sementara ia menunduk. Entah apa maksudnya. Berselang sesaat ia lalu terus menutup matanya.

Padanya aku berkata supaya ia tenang. Tak usah sampai terkejut jauh-jauh. Aku tak meminta apa-apa dari cinta itu. Aku tak meminta untuk dibalas dengan cinta yang sama. Aku malah tak sampai berpikir demikian.

Aku juga tak akan mengajaknya berpacaran. Toh bagiku mengikat sebuah hubungan dengan ikatan pacaran adalah hal paling rendah yang dilakukan seorang laki-laki kepada perempuan. Lagi pula aku rasa ia mungkin juga punya cinta yang lain atau pacar.

Hari itu berlalu. Aku begitu senang bisa mengungkapkan rasa cinta itu. Mungkin setelah ini aku akan pergi jauh. Dia pun demikian. Tidak akan ada lagi utang bagiku. Aku menganggap mengatakan cinta itu adalah wajib. Ia harus dengar secara langsung dariku bukan saja melihat cinta itu pada caraku bersikap.

Sekarang aku bisa memulai hidup yang baru tanpa ketakutan-ketakutan lagi. Hidup memang tak boleh berhenti pada titik itu. Entah apakah besok aku masih akan mencintainya atau tidak. Sungguh, Tuhan itu Maha Kuasa. Dia membuatku jatuh cinta, Dia membuatku kuat untuk menunaikan cinta itu, Dia juga memberiku keberanian untuk mengatakan cinta.

(Sebenarnya cerita ini amat panjang. Tapi saya menceritakannya dengan singkat)

Hooohh. Luar biasa. Tabik!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun