Itu sungguh terjadi. Aku tak mengada-ada. Bukan juga aku cengeng. Toh sudah aku ceritakan di awal bahwa aku adalah anak yang nakal sebelumnya. Tak mungkin aku jatuh air mata. Bahkan ketika bibirku terluka dibogem tangan-tangan besar dan kasar. Aku pantang menangis. Tapi kali ini halnya lain.
Aku menyadari sepenuhnya bahwa Tuhan sedang memberiku cobaan. Tuhan mengujiku dengan jatuh cinta. Teringat seketika sebuah syair bahwa jatuh cinta adalah penyakit. Aku takut tidak akan bisa mengendalikan perasaanku sendiri, menyebabkan aku menangis.
Waktu berjalan terus. Cinta itu tumbuh mekar di hatiku tanpa bisa aku hentikan. Dan dalam kasusnya, cara menghadapi cinta adalah dengan meneguknya, menunaikan cinta itu sebisa mungkin. Dan aku berusaha menunaikan cinta itu padanya.
Padanya aku sebaik mungkin berusaha menjaga meski pernah sampai membuatnya jatuh air mata, aku berusaha untuk selalu ada padahal kenyataannya lebih sering absen, berusaha membuatnya aman meski kenyataannya malah membuatnya kerap sedih, berusaha untuk belajar sabar meski sikap marah-marah itu sulit hilang.
Cinta itu aku tunaikan pelan-pelan. Entah apa ia mencurigai atau tidak. Aku terus menahan diri untuk tidak mengatakannya langsung. Bagiku memang belum saatnya.
Kejadian demi kejadian terlewati. Orang-orang mulai mencurigai. Ia pun pasti merasa lain. Laki-laki yang sering memarahinya malah menjadi seberubah ini. Ia pasti sempat bertanya-tanya. Hingga akhirnya aku berani mengungkapkan rasa itu. Tentu saja dengan sekali percobaan awal.
Kenapa ada percobaan? Karena itu hal terberat yang pernah aku katakan selama menjadi manusia.
Di waktu pertama aku kira aku akan bisa mengatakan cinta padanya. Tapi rupa-rupanya aku kalah berani. Aku sudah duduk di hadapannya, menatap mukanya, saat hendak berkata tiba-tiba dadaku sesak, seperti ada gumpalan yang memenuhi dadaku dan menghalangi satu pun kata yang hendak keluar. Aku berkeringat saat itu. Dan aku gagal mengatakannya.
Besoknya aku kembali mencoba. Kali ini semua keberanian aku kumpulkan. Seperti biasa doa-doa pun aku selipkan. Sesuatu yang aku lupakan sebelumnya. Mungkin itu yang membuatku gagal.
Saat kedua kali sudah duduk di depannya lagi. Sempat terbata-bata di awal aku akhirnya bisa juga mengatakan itu.\
"Beta cinta ose,"Â kataku. Menggunakan bahasa Melayu Ambon. Kata-kata itu keluar dengan napas yang serasa terputus-putus. Seperti ada benda besar yang baru dikeluarkan dari tubuh.