Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Pada Titik Aku Mencintaimu, Hidup Tak Boleh Berhenti

2 Februari 2020   20:49 Diperbarui: 3 Februari 2020   20:20 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Pixabay/4startraveler)

Aku hanyalah anak kecil yang mengisi hari dengan suara parau hingga setengah malam. Setiap hari hanya perihal pencarian benda paling sejati di muka dunia ini: uang. Nyaris tak ada kasih sayang di sana. Semua tentang ketidakmampuan melakukan kendali atas api emosi yang membakar.

Di satu segmen yang sudah tertindas halaman baru kehidupan, aku adalah anak yang suka bertarung.

Di masa lalu ketika pertama kali memulai untuk menyematkan atribut pemuda di dada aku adalah seorang yang bengal. Berkelahi dari satu gang ke gang yang lain, ditahan dari satu pos polisi ke pos pos lainnya. Dihukum dari satu Polsek ke Polsek lainnya. Sampai dihajar hingga lebam oleh polisi gara-gara kerap berkelahi.

Lelaki Bali yang bertugas sebagai polisi di Kota Sorong bahkan pernah bertanya keheranan padaku. "Kenapa ko suka berkelahi? Tidak sayangkah orang tuamu?"

Saya terdiam agak lama. Waktu berlalu begitu cepat. Dunia merekam semua yang tanganku kerjakan. Mataku merekam kerasnya kehidupan. Dan di sana nyaris tidak ada cinta.

Begitu sempit kemungkinan aku bisa jatuh cinta pada sesuatu di masa itu. Hanya ada seorang perempuan yang sempat dengan cukup lama tidur di hati yang sepi.

Entah apa itu cinta atau bukan, tapi ia hilang juga. Entah apa pergi sendirinya atau akulah yang memaksanya pergi. Tak ada rekaman ingatan yang bisa menjelaskannya dengan detail.

Fase hidup yang baru dimulai lagi. Dengan usia yang makin naik. Hati seperti terdorong untuk berubah. Menerima hal-hal baik yang datang, tak terus menerus menampung burik yang merusak.

Rasa tanggung jawab kian membelit setiap menatap wajah ibu. Rasa khawatir semakin menggonggong tiap mendengar suara-suara ibu ketika batuk.

Pelan-pelan aku mulai berani menulis rencana-rencana. Lalu membuka diri untuk sesuatu yang baru. Segalanya berjalan beriringan. Di sisi kiri aku berusaha meredam gejolak buruk di dalam diri, di bagian yang kanan aku terus menggiatkan untuk berubah menjadi diri yang baik dengan sokongan doa-doa seadanya.

Semua berlangsung lama, dan terus begitu hingga kini. Sulit dan terjal. Untuk menuju baik memang selalu butuh upaya lebih. Aku menyadari itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun