"Semua menghadap ilahi
Dunia yang dicari
Tidak ada yang berarti
Takkan dibawa mati"Â
Geurlis melanjutkan lagunya. Kami sering menyanyikan lagu ini, sejak Yuli sakit. Kemarin-kemarin kami menyanyikannya biasa saja. Bahkan dengan tertawa-tawa karena ucapan Geurlis yang cedal.
Hari ini lagu itu terasa lain. Sedih tentu saja. Seperti ada rasa yang menghunjam dalam hati. Jika mengingat kesakitan yang dialami Yuli, saya merasa inilah jawaban Allah atas doa-doa kami selama ini. Tetapi melihat Geurlis, juga kedua kakaknya yang belum "mentas" saya merasa belum pantas jika Yuli meninggalkan kami secepat ini. Tetapi bukankan kematian memang tidak pernah menunggu. Dia adalah keniscayaan yang tak bisa dielakkan.
"Ibuk ..." Geurlis menarik tangan saya.
"Ibuk kapan mati?"
Astaghfirullah, saya mencelos. Sebagian nyawa saya seakan tercerabut dari tubuh. Saya menatap Geurlis yang juga tengah menatap saya. Tiba-tiba saja sekeliling saya mendadak seperti kosong. Jauh. Â Hanya ada saya dan Geurlis dan pusara-pusara itu.
"Kenapa?" hati saya yang bertanya sementara bibir saya seakan terkunci.
"Ibuk bilang dulu kalau mau mati. Jangan seperti Mama. Gelis gak mau dewean (sendirian). Gelis ikut Ibuk saja ke surga. Ada kolam susu di sana. Seru 'kan bisa minum susu sepuasnya."