Seringkali, kita menganggap remeh bantal di kepala kita. Kita melihatnya hanya sebagai benda empuk untuk menopang kepala. Namun, di balik bantal itu, ada sebuah proses vital yang terjadi.Â
Tidur, sebuah ritual harian yang kita jalani, memiliki peran jauh lebih besar daripada sekadar mengistirahatkan tubuh. Ia adalah fondasi bagi kesehatan mental kita.
Pernahkah Anda merasa lebih mudah marah atau sedih setelah semalaman kurang tidur? Itu bukan sekadar perasaan. Ilmu pengetahuan membuktikan bahwa tidur adalah kunci untuk mengatur emosi.Â
Tidur seperti tombol "reset" alami untuk pikiran kita. Tanpa istirahat yang cukup, sistem saraf kita menjadi tidak stabil, membuat kita lebih rentan terhadap stres dan emosi negatif.
Tidur yang kurang memicu ketidakseimbangan hormon dan neurotransmitter di otak. Hormon stres seperti kortisol meningkat, sementara zat kimia yang membuat kita merasa bahagia, seperti serotonin dan dopamin, berkurang.Â
Kondisi ini membuat kita lebih sensitif dan reaktif terhadap hal-hal kecil. Hal yang biasanya kita anggap sepele, bisa menjadi pemicu kemarahan atau kesedihan yang berlebihan.
Regulasi emosi ternyata melibatkan interaksi kompleks antara banyak faktor. Tidur menempati posisi istimewa sebagai proses biologis fundamental. Saat tidur, otak kita memproses dan mengonsolidasi ingatan emosional.Â
Ini membantu kita memahami dan menerima pengalaman yang terjadi sepanjang hari. Tanpa proses ini, emosi kita akan "terjebak" dan tidak terkelola dengan baik.
Bagi banyak orang, tidur adalah hal pertama yang dikorbankan ketika kesibukan datang. Mengejar deadline, kerja lembur, atau sekadar menonton serial favorit sering kali mengalahkan kebutuhan untuk beristirahat.Â
Kita merasa bisa "mengejar" tidur di akhir pekan. Padahal, utang tidur tidak bisa dibayar lunas dengan mudah. Efek buruknya sudah terasa sejak kita melewatkan satu malam.
Ketika kita terus-menerus mengabaikan kebutuhan tidur, kita secara tidak langsung juga mengabaikan kesehatan mental kita sendiri.Â