Mohon tunggu...
Nurifah Hariani
Nurifah Hariani Mohon Tunggu... Guru yang suka membaca dan senang berkhayal

Guru di sebuah sekolah swata di kota Malang, sedang belajar menulis untuk mengeluarkan isi kepala, uneg-uneg juga khayalan

Selanjutnya

Tutup

Diary

Anak yang Bertanya Kapan Saya Mati

17 Februari 2025   20:36 Diperbarui: 17 Februari 2025   20:36 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adik ipar saya,  namanya Yuli, sudah tiga  tahun ini menderita meningioma. Tumor di selaput otak ini sudah diambil  tetapi tidak bisa semuanya karena ada yang menempel di syaraf gerak. Tengkorak kepalanya sudah diganti dengan titanium. Saya sering mengolok2nya dengan menyebutnya "perempuan berkepala besi".

Namun beberapa bulan terakhir ini sepertinya meningiomanya berkembang lagi. Sebagian tubuhnya sulit digerakkan. Dengan beberapa pertimbangan, Yuli dan ketiga anaknya, "tirah" ke rumah saya. Si sulung yang sudah kuliah dan si tengah yang masih SMA kelas XI bergantian merawat mamanya mulai memandikan, menyuapi sampai bolak balik ke rumah sakit.

Si bungsu, Geurlis namanya, masih 5 tahun. Anak ini memang sejak bayi sudah dekat dengan saya dan suami. Dulu, setiap akhir pekan, dia sering saya ajak menginap di rumah. Geurlis membuat rumah menghangat   karena anak saya, lelaki satu-satunya, sudah bekerja, jarang pulang apalagi di akhir pekan.

Sejak mamanya sakit, Geurlis sedikit tersisihkan. Semua perhatian tertuju kepada mamanya. Ia tak lagi bisa menjadi si bungsu yang manja.

"Mengapa Mama disuapin? Kan sudah besar, bukan anak kecil?"

"Tangan  Mama sakit,"

"Tapi Mama masih bisa marah-marah, masih bisa melotot. Orang sakit 'kan biasanya lemes."

Di akhir Agustus 2024 dokter melakukan operasi untuk mengambil meningiomanya. Sepulang dari rumah sakit, Yuli banyak berubah. Bicaranya aneh-aneh. Ia merasa diancam akan dibunuh karena tidak bisa membayar biaya operasi yang mencapai milyaran rupiah. Padahal ia pasien prioritas karena jabatannya sebagai staf HRD di sebuah perusahaan retail. Ia  menjadi lebih pendiam, tak lagi rewel, tak lagi marah-marah dan tidurnya lebih lama.

Saya merasa kondisinya makin melemah karena ia sering kejang. Kaki dan tangannya semakin lemas, tak bisa bergerak sendiri sepertinya lumpuh. Ketika obat anti kejangnya habis sedangkan waktu kontrol masih seminggu lagi, kejangnya makin sering terjadi.

Pagi itu di awal Oktober, Yuli kejang sampai tiga kali. Si sulung membawanya ke rumah sakit.  Karena kondisinya ia masuk ke ICU. Tak ada yang bisa menemaninya di ruangan. Kami hanya bisa menunggu di selasar rumah sakit, menunggu jika sewaktu-waktu perawat memanggil.

"Kapan mama pulang?" tanya Geurlis kepada kakaknya. Ia tidak diperbolehkan ikut ke rumah sakit.

Sulung hamya bisa mengedikkan bahu sambil menahan tangis. Terakhir ia melihat mamanya yang tubuhnya dipenuhi slang.

"Mama pulang jika sudah sembuh," jawab saya.

"Hore, mama sembuh. Bisa jalan lagi. Asik, terima kasih ya Allah," soraknya.

Hati saya mencelos mendengarnya. Dokter sudah tidak bisa menjanjikan apa-apa. Kami diminta banyak-banyak berdoa, berharap ada keajaiban yang terjadi pada Yuli. Tetapi saya sekurangajar ini. Astaghfirullah.

Dan kabar yang paling tidak ingin saya dengar itu datang juga. Di hari Kamis, 24 Oktober 2024, setelah shalat Subuh. saya membangunkan Geurlis.

"Kemana?" matanya baru separo terbuka.

"Ke Brantas. Mama pulang," Saya berusaha kuat menahan air mata yang sudah sampai di pelupuk. Brantas adalah rumah keluarga Yuli.

"Hore. Mana sembuh!" Ia langsung duduk, matanya langsung terbuka lebar. Tanpa drama seperti biasanya jika berangkat sekolah. ia langsung minta mandi. Tanpa memberi syarat apapun seperti kemarin-kemarin.

"Lho Buk, hari ini kan pake seragam hijau." Ia menepis tangan saya yang memberinya  kaos pink.

"Hari ini  libur,"

"Ayahdi ?" Ia memanggil saya, Ibuk dan memanggil suami, Ayahdi.

"Libur semua,"

Ia bersorak. Sepertinya kepalanya penuh dengan bayangan yang menyenangkan. Mama sembuh. Mama bisa jalan lagi. Mama bisa menemaninya seperti dahulu. Itu doa yang dipanjatkannya setiap hari.

Tidak sampai setengah jam kami sampai di Brantas.  Motor kami berhenti bersamaan dengan datangnya ambulan dari rumah sakit. Geurlis melambaikan tangan. Ia berteriak riang memanggil mamanya. Setengah berlari ia mendekati ambulan.

Ketika jenazah diturunkan, Geurlis berlari menghampiri saya.

"Ibuk, kenapa Mama ditutupi. Ibuk. Mama sembuh 'kan. Ibuk ...."

 

Sumpah, inilah pertanyaan yang paling tidak ingin saya dengar. Dada saya seperti akan meledak sementara air mata ini meluncur bebas begitu saja membasahi pipi.

"Ibuk ...." Ia mengguncang tubuh saya.

Saya tidak tahu harus bagaimana, sementara banyak orang mendatangi kami. Saya masih membeku ketika banyak ibu-ibu bergantian memeluk dan mencium Geurlis.

"Anak pinter"

"Sabar, ya Nduk."

"Anak sholehah, mamanya didoakan ya."

Ucapan ibu-ibu itu seperti mendengung di telinga saya. Suami menarik tangan saya agar mengikutinya menuju rumah duka. Geurlis mengikuti langkah saya dengan setengah berlari.

"Ibuk, kenapa orang-orang ini mendadak sayang sama Gelis, ya?" tanya Geurlis.

Saya tak hendak menjawab pertanyaannya. Saya bahkan tak sanggup menatap wajahnya yang polos itu.

"Ibuk ..." Mata Geurlis mengerjap. Ia meminta persetujuan saya ketika orang-orang memintanya untuk mencium Yuli untuk yang terakhir kalinya.

"Tapi gak boleh nangis lo ya, Kasian mamanya," ucap Buk Sonara, yang memimpin perawatan jenazah.

Geurlis bersama kedua kakaknya mengikuti semua prosesi pemakaman Yuli sampai di pemakaman umum Kutobedah. Berkali-kali ia menghampiri saya menitipkan uang duka yang diberikan petakziah kepadanya.

"Mengapa Mama mati?" tanya Geulis sambil menabur bunga di pusara mamanya.

"Sakit. Kanker otak." jawab si sulung.

"Apa Mama akan jadi hantu pocong?"

Sepertinya kakaknya tidak suka dengan pertanyaan Geurlis.

"Tentu saja tidak. Mama, orang baik, Mama rajin sholat, puasa juga sering bersedekah. Hantu pocong itu setan," jawab suami.

Geurlis tampak puas dengan jawaban itu. Ia tak menolak ketika saya mengajaknya berteduh di bawah pohon kersen sambil menunggu semuanya selesai.

"Ibuk, apa mati itu sakit?

"Beberapa penyakit bisa menyebabkan kematian, tetapi penyakit yang ringan seperti batuk, pilek itu bisa diobati."

Geurlis yang bar u bisa membaca, mengeja nama-nama di nisan. Ia menunjuk-nunjuk nisan menggunakan ibu jari. "Kata bu ustadzah kita harus sopan kepada orang mati," katanya.

"Orang kaya mati

Orang miskin mati

Raja-raja mati

Rakyat biasa mati"  

Saya bersenandung lirih saja, lagunya Derry Sulaiman yang berjudul "Dunia Sementara Akhirat Selamanya"

"Semua menghadap ilahi

Dunia yang dicari

Tidak ada yang berarti

Takkan dibawa mati" 

Geurlis melanjutkan lagunya. Kami sering menyanyikan lagu ini, sejak Yuli sakit. Kemarin-kemarin kami menyanyikannya biasa saja. Bahkan dengan tertawa-tawa karena ucapan Geurlis yang cedal.

Hari ini lagu itu terasa lain. Sedih tentu saja. Seperti ada rasa yang menghunjam dalam hati. Jika mengingat kesakitan yang dialami Yuli, saya merasa inilah jawaban Allah atas doa-doa kami selama ini. Tetapi melihat Geurlis, juga kedua kakaknya yang belum "mentas" saya merasa belum pantas jika Yuli meninggalkan kami secepat ini. Tetapi bukankan kematian memang tidak pernah menunggu. Dia adalah keniscayaan yang tak bisa dielakkan.

"Ibuk ..." Geurlis menarik tangan saya.

"Ibuk kapan mati?"

Astaghfirullah, saya mencelos. Sebagian nyawa saya seakan tercerabut dari tubuh. Saya menatap Geurlis yang juga tengah menatap saya. Tiba-tiba saja sekeliling saya mendadak seperti kosong. Jauh.  Hanya ada saya dan Geurlis dan pusara-pusara itu.

"Kenapa?" hati saya yang bertanya sementara bibir saya seakan terkunci.

"Ibuk bilang dulu kalau mau mati. Jangan seperti Mama. Gelis gak mau dewean (sendirian). Gelis ikut Ibuk saja ke surga. Ada kolam susu di sana. Seru 'kan bisa minum susu sepuasnya."

Ucapannya memaksa saya tersenyum. Sesederhana itu pemahaman anak enam tahun ini. Namun ia telah mengingatkan saya tentang kematian dengan logikanya. Keponakan saya yang ini memang agak lain.

"Aku sungguh heran dengan orang yang lupa akan kematian, padahal dia melihat orang-orang yang meninggal dunia." Ali bin Abi Thalib

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun