"Ayahdi ?" Ia memanggil saya, Ibuk dan memanggil suami, Ayahdi.
"Libur semua,"
Ia bersorak. Sepertinya kepalanya penuh dengan bayangan yang menyenangkan. Mama sembuh. Mama bisa jalan lagi. Mama bisa menemaninya seperti dahulu. Itu doa yang dipanjatkannya setiap hari.
Tidak sampai setengah jam kami sampai di Brantas. Â Motor kami berhenti bersamaan dengan datangnya ambulan dari rumah sakit. Geurlis melambaikan tangan. Ia berteriak riang memanggil mamanya. Setengah berlari ia mendekati ambulan.
Ketika jenazah diturunkan, Geurlis berlari menghampiri saya.
"Ibuk, kenapa Mama ditutupi. Ibuk. Mama sembuh 'kan. Ibuk ...."
Â
Sumpah, inilah pertanyaan yang paling tidak ingin saya dengar. Dada saya seperti akan meledak sementara air mata ini meluncur bebas begitu saja membasahi pipi.
"Ibuk ...." Ia mengguncang tubuh saya.
Saya tidak tahu harus bagaimana, sementara banyak orang mendatangi kami. Saya masih membeku ketika banyak ibu-ibu bergantian memeluk dan mencium Geurlis.
"Anak pinter"