"Sabar, ya Nduk."
"Anak sholehah, mamanya didoakan ya."
Ucapan ibu-ibu itu seperti mendengung di telinga saya. Suami menarik tangan saya agar mengikutinya menuju rumah duka. Geurlis mengikuti langkah saya dengan setengah berlari.
"Ibuk, kenapa orang-orang ini mendadak sayang sama Gelis, ya?" tanya Geurlis.
Saya tak hendak menjawab pertanyaannya. Saya bahkan tak sanggup menatap wajahnya yang polos itu.
"Ibuk ..." Mata Geurlis mengerjap. Ia meminta persetujuan saya ketika orang-orang memintanya untuk mencium Yuli untuk yang terakhir kalinya.
"Tapi gak boleh nangis lo ya, Kasian mamanya," ucap Buk Sonara, yang memimpin perawatan jenazah.
Geurlis bersama kedua kakaknya mengikuti semua prosesi pemakaman Yuli sampai di pemakaman umum Kutobedah. Berkali-kali ia menghampiri saya menitipkan uang duka yang diberikan petakziah kepadanya.
"Mengapa Mama mati?" tanya Geulis sambil menabur bunga di pusara mamanya.
"Sakit. Kanker otak." jawab si sulung.
"Apa Mama akan jadi hantu pocong?"