Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Merayu Tuhan

2 September 2025   22:59 Diperbarui: 7 September 2025   07:11 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku meraba langit dengan jari-jari doa
yang patah, yang tak lagi lentur
oleh terlalu banyak persinggahan sia-sia.
Setiap huruf yang kupanjatkan
seperti burung terluka,
terbang setengah sayap,
jatuh di antara kabut penyesalan.

Tuhan,
di keningku masih ada jejak sujud
yang sering terlupakan oleh gaduh dunia.
Aku tahu,
rumah-Mu bukan tempat singgah sementara,
tapi aku kerap datang hanya ketika ingin cahaya,
dan pulang saat riuh usai.

Tuhan, aku merayu-Mu dengan bahasa yang gagap,
bukan dengan mazmur indah,
melainkan dengan tangis yang kupelihara diam-diam,
seperti sumur tua yang tak lagi jernih
namun tetap menyimpan rahasia hujan.

Aku ini manusia,
dengan jantung yang terlalu mudah tergoda,
dengan langkah yang kerap salah melangkah
ke jalan penuh kilau semu.
Aku tahu Kau Maha Tahu,
namun tetap saja aku bersembunyi
di balik alasan, di balik waktu,
seakan Kau tak mengintip
celah kecil di hatiku.

Tuhan,
jika Kau masih sudi mendengar,
izinkan aku menjadi debu yang Kau tiup
ke arah taman ampunan-Mu.
Jadikan setiap retak di tubuhku
cermin yang memantulkan kembali cahaya-Mu,

Aku merayu-Mu bukan dengan janji,
sebab lidahku terlalu sering mengingkarinya.
Aku merayu-Mu dengan pengakuan:
bahwa aku lelah menjadi pengembara
yang mendekap bayangan,
sementara matahari-Mu
selalu menunggu tanpa berpaling.

Bacalah aku, Tuhan,
seperti Kau membaca semesta:
Bintang yang padam pun masih Kau abadikan,
daun yang gugur pun masih Kau hitung,
Aku tahu Kau tak kan menolak
sujud yang penuh luka ini

Jika Kau adalah samudra,
maka biarlah aku menjadi perahu pecah
yang tetap terdampar di tepian-Mu.
Jika Kau adalah waktu,
maka biarlah aku menjadi detik yang terlupa
namun tetap Kau rangkul dalam keabadian.

Aku hanya ingin tetap padaMu,
meski jalan pulangku berliku,
meski langkahku pincang,
meski aku membawa lebih banyak salah
daripada kebaikan.

Merayu-Mu, Tuhan,
bukan dengan kepandaian lidah,
tapi dengan sekarung hampa
yang hanya bisa Kau isi.
Bukan dengan kesalehan semu,
tapi dengan pengakuan bahwa aku,
seutuhnya aku,
tak pernah bisa tanpa-Mu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun