Pagi di desa Tanjungmekar lahir dari kicau burung dan aroma tanah basah, seolah semesta menulis ulang harapan di udara. Ayam tetangga belum selesai berkokok ketika Brian sudah bangun. Ia merapikan selimut, melipatnya, lalu bergegas ke kamar mandi.
Air wudu menyentuh wajahnya, dingin seperti kabut yang jatuh pelan. Selepas Subuh, ia duduk berdampingan dengan ibu, bibirnya komat-kamit pelan, doa yang sederhana, tapi menambal hari seperti benang halus.
Di sudut kamar, menempel selembar kertas kecil yang ia gambar sendiri tujuh ikon spidol; matahari (bangun pagi), sajadah (beribadah), tali skipping (berolahraga), piring berisi sayur (makan sehat dan bergizi), buku dengan kacamata (gemar belajar), dua tangan saling menggenggam (bermasyarakat), dan bulan sabit bertutup selimut (tidur cepat).
Di bawahnya ada celengan tanah liat berbentuk kapal yang ia sebut Si Hebat. Setiap kali menyelipkan uang jajannya, Brian membayangkan kapal itu benar-benar berlayar, membawa mimpinya ke dermaga yang belum ia tahu.
Sebelum berangkat, ia berolahraga sebentar; kadang lompat tali, berlari di halaman atau bermain bola. Nafasnya membentuk awan kecil yang cepat lenyap.
Ibu selalu menyiapkan sarapan sederhana. Tak lupa bekal snack sehat berupa susu, buah atau roti. “Biar kuat belajar dan nggak jajan sembarangan,” ujar Ibu.
Brian mengangguk. Sejak sekolah menempel poster tentang jajanan tak sehat, warna-warna mencolok di kantin baginya seperti lampu merah: indah tapi melarang.
***
Di gerbang sekolah, bendera berkibar seperti tangan raksasa yang menyapa. Lapangan masih basah, menggandakan langit di permukaannya.
Dodo, teman sekelas Brian, sudah berdiri. “Bri, ikut jajan, yuk!” godanya. Brian tersenyum kecil. “Gak Do, ibu sudah siapkan bekal di tasku” ujar Brian. Dodo mendengus, tapi tak memaksa.