Ranjang di kamar kita tak lagi kokoh. Decitnya mengalihkan debat panas para kandidat
Di dalam ibadah salatku, acap kali wajahmu yang manis dan menggemaskan melintas tiba-tiba
Kemarin, sederet kata penghiburan yang biasa kaudengar tertidur pulas di atas kursi ruang tamu
Puisi kehidupan sosial, puisi cinta ilmu, puisi pelajar pintar
Duhai, engkau-kah lelaki itu? Yang menitip rindu pada riuh denting hujan
Ku ingin sepertimu,Berjalan di udara meskipun terbakar
Kita bersua ketika usia tak lagi muda. Langkah tak lagi gagah Dan, rambut di kepala sebagian telah berubah warna
Dulu, kita pernah berdiri di bawah deras hujan yang membadai
Seorang perempuan bisa menjadi kupu-kupu terbang rendah lalu hinggap di dada bidang laki-laki yang diimpikan
Puisi, ia bisa lahir dari rahim siapa saja Kadang dari sebutir batu yang kaugenggam Yang kaulempar jauh ke luar jendela
Ibu, garis halus di sudut matamu, bolehkah aku petik? Kan kujadikan ia pemantik Tuk terangi hari-hariku yang kabut
Masa lalu dan masa kini Hanya sejarak kenangan Aku pada masa dulu
Aku jatuh cinta Pada lelaki yang kucipta sendiri Yang selalu singgah di bait-bait puisi
Ya, telah kumasuki kamar seorang lelaki dan aku menikmati terperangkap di dalamnya
Kadang kita lupa untuk perlahan menikmati kehidupan. Hanya karena ada kekecewaan. Padahal, ada hal-hal yang tidak bisa kita campuri.
Di dalam tubuhku, beberapa puisi menumpang hidup bertahun-tahun
Lihatlah! Badut-badut politik mulai turun di jalanan. Bersembunyi di balik topeng kepalsuan
Ayahku melihat Ibu. Di dalam sebuah mimpi. Kata Ayah, Ibuku sosok perempuan jelita
Dear rumahku...Kau memang tidak bagus, tidak megah, tidak pula dipenuhi barang-barang mewah.
Sekiranya engkau ingin pulang Jangan tunda-tunda lagi Pulang dan berlarilah!