Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rapor 1 Tahun Prabowo - Gibran: Presidensialisme Koalisional Yang Belum Efektif

14 Oktober 2025   20:04 Diperbarui: 14 Oktober 2025   20:42 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jurnal Prisma edisi khusus Presidensialisme di Indonesia (sumber: dokumentasi pribadi)

Tanggal 20 Oktober 2025 nanti merupakan momen 1 tahun pemerintahan Prabowo Gibran. Memang belum waktu yang lama, tapi sudah memadai untuk menakar arah dan capaian yang sudah dihasilkan pemerintah. Hal demikian diperlukan bagi kita sebagai rakyat untuk melakukan evaluasi dan kalau perlu memberikan saran untuk perbaikan.

Dalam setahun ini, pemerintahan Prabowo - Gibran, dan khususnya Presiden Prabowo, masih meneruskan tradisi lembaga kepresidenan yang sudah dijalankan sejak Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung pada 2004. Itulah tradisi yang disebut sebagai coalitional presidentialism atau presidensialisme koalisional. 

Konsep temuan ilmuwan politik Brazil, Sergio Abranches, ini merujuk pada presiden yang cendrung membangun koalisi demi membuat demokrasi presidensial multipartai berjalan lancar (Djayadi Hanan, dalam Jurnal Prisma vol. 3, LP3ES, 2o16). Artinya, presiden akan berkoalisi dan membagi-bagi jabatan kepada partai mitra koalisi demi mengamankan dukungan parlemen bagi segala inisiatif kebijakan pemerintah.

Selama setahun ini, Presiden Prabowo berhasil membangun koalisi besar yang terdiri dari semua partai politik minus PDIP. Itu pun PDIP juga tidak memposisikan diri sebagai oposisi secara tegas. Alhasil, segala kebijakan Prabowo nyaris semuanya melenggang mulus, termasuk UU TNI, Makan Bergizi Gratis, dan lain sebagainya.

Sayangnya, koalisi besar ini dalan praktiknya kebablasan sehingga dual majority yang dinikmati pemerintah (dominan di eksekutif dan dominan di legislatif) membuat pemerintah beserta elit politik lain di tingkatan legislatif terlalu percaya diri. Sehingga, mereka kerap blunder dalam membuat kebijakan demi kebijakan publik yang tidak melibatkan partisipasi bermakna (meaningful participation) dari masyarakat. 

Berbagai kebijakan seperti kenaikan pajak, pembatasan distribusi LPG 3 kilogram, dan kenaikan tunjangan para elit yang akhirnya membuat gaduh masyarakat adalah sejumlah contohnya. Puncaknya adalah amarah masyarakat yang meledak dalam rangkaian demonstrasi berujung tragedi kematian dan kerusuhan pada akhir Agustus 2025.

Pemerintah selama setahun ini jadinya gagal menerapkan coalitional presidentialism secara efektif. Merujuk Ramlan Surbakti (dalam Jurnal Prisma edisi khusus Presidensialisme di Indonesia, LP3ES, 2016), ada sembilan syarat bagi efektivitas suatu presidensialisme koalisional.

Pertama, presiden mendapatkan legitimasi hukum dan politik yang tinggi dari rakyat berdasarkan konstitusi. Kedua, presiden memiliki kewenangan legislasi dan anggaran setara DPR. Ketiga, presiden mendapatkan dukungan solid dari koalisi partai pendukung. 

Keempat, presiden memiliki kepemimpinan politik yang efektif dan kepemimpinan administrasi yang efisien. Kelima, presiden dibantu oleh pejabat politik yang ditunjuk dalam jumlah memadai.

Keenam, presiden punya oposisi yang memadai. Ketujuh, Presiden mampu menjalin komunikasi efektif dengan berbagai organisasi masyarakat sipil, sektor swasta, dan media dalam upaya mendengarkan kehendak rakyat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun