Tanggal 20 Oktober 2025 nanti merupakan momen 1 tahun pemerintahan Prabowo Gibran. Memang belum waktu yang lama, tapi sudah memadai untuk menakar arah dan capaian yang sudah dihasilkan pemerintah. Hal demikian diperlukan bagi kita sebagai rakyat untuk melakukan evaluasi dan kalau perlu memberikan saran untuk perbaikan.
Dalam setahun ini, pemerintahan Prabowo - Gibran, dan khususnya Presiden Prabowo, masih meneruskan tradisi lembaga kepresidenan yang sudah dijalankan sejak Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung pada 2004. Itulah tradisi yang disebut sebagai coalitional presidentialism atau presidensialisme koalisional.Â
Konsep temuan ilmuwan politik Brazil, Sergio Abranches, ini merujuk pada presiden yang cendrung membangun koalisi demi membuat demokrasi presidensial multipartai berjalan lancar (Djayadi Hanan, dalam Jurnal Prisma vol. 3, LP3ES, 2o16). Artinya, presiden akan berkoalisi dan membagi-bagi jabatan kepada partai mitra koalisi demi mengamankan dukungan parlemen bagi segala inisiatif kebijakan pemerintah.
Selama setahun ini, Presiden Prabowo berhasil membangun koalisi besar yang terdiri dari semua partai politik minus PDIP. Itu pun PDIP juga tidak memposisikan diri sebagai oposisi secara tegas. Alhasil, segala kebijakan Prabowo nyaris semuanya melenggang mulus, termasuk UU TNI, Makan Bergizi Gratis, dan lain sebagainya.
Sayangnya, koalisi besar ini dalan praktiknya kebablasan sehingga dual majority yang dinikmati pemerintah (dominan di eksekutif dan dominan di legislatif) membuat pemerintah beserta elit politik lain di tingkatan legislatif terlalu percaya diri. Sehingga, mereka kerap blunder dalam membuat kebijakan demi kebijakan publik yang tidak melibatkan partisipasi bermakna (meaningful participation) dari masyarakat.Â
Berbagai kebijakan seperti kenaikan pajak, pembatasan distribusi LPG 3 kilogram, dan kenaikan tunjangan para elit yang akhirnya membuat gaduh masyarakat adalah sejumlah contohnya. Puncaknya adalah amarah masyarakat yang meledak dalam rangkaian demonstrasi berujung tragedi kematian dan kerusuhan pada akhir Agustus 2025.
Pemerintah selama setahun ini jadinya gagal menerapkan coalitional presidentialism secara efektif. Merujuk Ramlan Surbakti (dalam Jurnal Prisma edisi khusus Presidensialisme di Indonesia, LP3ES, 2016), ada sembilan syarat bagi efektivitas suatu presidensialisme koalisional.
Pertama, presiden mendapatkan legitimasi hukum dan politik yang tinggi dari rakyat berdasarkan konstitusi. Kedua, presiden memiliki kewenangan legislasi dan anggaran setara DPR. Ketiga, presiden mendapatkan dukungan solid dari koalisi partai pendukung.Â
Keempat, presiden memiliki kepemimpinan politik yang efektif dan kepemimpinan administrasi yang efisien. Kelima, presiden dibantu oleh pejabat politik yang ditunjuk dalam jumlah memadai.
Keenam, presiden punya oposisi yang memadai. Ketujuh, Presiden mampu menjalin komunikasi efektif dengan berbagai organisasi masyarakat sipil, sektor swasta, dan media dalam upaya mendengarkan kehendak rakyat.Â
Kedelapan, presiden mampu mengarahkan aparat sipil dan militer negara yang profesional dan efisien dalam melaksanakan kebijakan publik. Kesembilan, presiden memimpin penyelenggaraan pemerintahan dengan transparan dan akuntabel secara politik dan hukum.
Belum efektif
Secara objektif, kita sebenarnya bisa melihat ada sejumlah daftar periksa dari kesembilan syarat di atas yang belum berhasil dipenuhi pemerintah. Poin pertama sampai ketiga sudah dipenuhi, sementara sisanya belum.
Sebagai contoh, kabinet yang terlalu gemuk justru tampak tidak efektif sehingga presiden harus beberapa kali merombak kabinet dalam waktu setahun (poin 4). Selain itu, pemerintah harusnya juga menunjuk pejabat setara direktur dan dirjen, bukan hanya menteri, demi memastikan setiap kementerian solid dan seirama secara vertikal komando dalam bertindak (poin 5).
Kemudian, pemerintahan tidak punya oposisi sebagai mitra kritis yang memberikan masukan konstruktif bagi segala kebijakan. Akibatnya, pemerintah berpotensi bekerja dalam gelembung dan merasa segala sesuatu sudah baik-baik saja (poin 6).Â
Kritik dari organisasi sipil, swasta, maupun media juga belum sering direspon dengan memadai, yang ditunjukkan dengan kurangnya meaningful participation dalam perumusan sejumlah UU atau pembuatan kebijakan (poin 7).
Tambahan lagi, pasca kerusuhan akhir Agustus 2025, pemerintah masih belum menunjukkan akselerasi memadai bagi reformasi institusi kepolisian maupun militer. Reformasi birokrasi juga masih belum menggembirakan, yang terbukti dari masih ditemukannya sejumlah kasus korupsi seperti yang terjadi di Kementerian Tenaga Kerja seiring tertangkapnya Wamenaker Immanuel Ebenezer oleh KPK beberapa waktu lalu.Â
Kemandekan daya akseleratif reformasi kelembagaan ini tentu menjauhkan diri pemerintah dari ikhtiar pencapaian penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel (poin 8 dan 9).
Dengan kata lain, jalannya satu tahun pemerintahan Prabowo - Gibran bisa diringkaskan secara teori politik dengan satu kalimat: presidensialisme koalisional yang belum efektif.
Ini tidak menafikan prestasi pemerintahan Prabowo yang lain, seperti diplomasi luar negeri dan politik internasional yang lebih aktif dalam mempromosikan perdamaian dunia, seperti dalam upaya penyelesaian konflik Gaza. Namun perlu diingat bahwa ikut mewujudkan perdamaian dunia hanyalah salah satu dari empat tujuan nasional dalam Pembukaan UUD 1945. Kita masih punya tiga tujuan lain: melindungi segenap tanah air dan tumpah darah bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Perjalanan pemerintahan selama empat tahun ke depan harus mulai menggarap secara lebih serius pencapaian ketiga tujuan nasional tersebut. Semoga!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI