Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Rezeki Tak Pernah Pergi, Ia Hanya Berubah Jalur

27 Juli 2025   09:00 Diperbarui: 27 Juli 2025   08:19 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rejeki dan ibadah (Sumber: freepik)

Di ufuk timur Pulau Belitung, matahari muncul perlahan. Seorang lelaki paruh baya memandangi laut yang telah menua bersamanya. 

Perahu kayu kecilnya, yang dulu setiap pagi ia tuntun ke tengah lautan, kini lebih sering diam di dermaga. Bukan karena ia menyerah, tapi karena ia belajar untuk membaca tanda.

Hasil tangkapan semakin sedikit. Cuaca kian sulit ditebak. Maka lelaki itu, dulu nelayan, kini menjemput rezeki dengan cara lain. 

Ia menjadi pemandu wisata, mengantar pelancong ke pulau-pulau terpencil yang memikat. Ia tetap bersahabat dengan laut, meski kini tak lagi mencari ikan.

“Laut tak pernah pelit,” katanya suatu hari. “Ia tetap memberi. Hanya saja, bukan selalu dalam bentuk yang kita harapkan.”

Kalimat itu mengetuk kesadaran banyak hati, termasuk hati para ibu, istri, dan perempuan yang sering merasa “berubah” sejak menikah dan menjadi pengasuh kehidupan kecil di rumah mereka.

Dulu Mudah, Kini Butuh Tenaga Lebih

Sebelum menikah, banyak perempuan yang bekerja, memperoleh penghasilan sendiri dan punya ruang yang lapang untuk mendekat kepada Tuhan. 

Ada rejeki yang didapat dari hasil keringatnya dan ada waktu khusus untuk duduk lama membaca Al-Qur’an, hadir rutin dalam pengajian, bahkan menulis catatan hati sebagai bentuk refleksi diri.

Namun setelah pernikahan, segalanya berubah. Terkadang keputusan untuk berhenti bekerja menjadi hal terbaik dan ibadah pun tak bisa dilakukan seintens sebelumnya. Bukan niat yang pudar, tapi waktu yang dipecah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun