Di ufuk timur Pulau Belitung, matahari muncul perlahan. Seorang lelaki paruh baya memandangi laut yang telah menua bersamanya.
Perahu kayu kecilnya, yang dulu setiap pagi ia tuntun ke tengah lautan, kini lebih sering diam di dermaga. Bukan karena ia menyerah, tapi karena ia belajar untuk membaca tanda.
Hasil tangkapan semakin sedikit. Cuaca kian sulit ditebak. Maka lelaki itu, dulu nelayan, kini menjemput rezeki dengan cara lain.
Ia menjadi pemandu wisata, mengantar pelancong ke pulau-pulau terpencil yang memikat. Ia tetap bersahabat dengan laut, meski kini tak lagi mencari ikan.
“Laut tak pernah pelit,” katanya suatu hari. “Ia tetap memberi. Hanya saja, bukan selalu dalam bentuk yang kita harapkan.”
Kalimat itu mengetuk kesadaran banyak hati, termasuk hati para ibu, istri, dan perempuan yang sering merasa “berubah” sejak menikah dan menjadi pengasuh kehidupan kecil di rumah mereka.
Dulu Mudah, Kini Butuh Tenaga Lebih
Sebelum menikah, banyak perempuan yang bekerja, memperoleh penghasilan sendiri dan punya ruang yang lapang untuk mendekat kepada Tuhan.
Ada rejeki yang didapat dari hasil keringatnya dan ada waktu khusus untuk duduk lama membaca Al-Qur’an, hadir rutin dalam pengajian, bahkan menulis catatan hati sebagai bentuk refleksi diri.
Namun setelah pernikahan, segalanya berubah. Terkadang keputusan untuk berhenti bekerja menjadi hal terbaik dan ibadah pun tak bisa dilakukan seintens sebelumnya. Bukan niat yang pudar, tapi waktu yang dipecah.