Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Senang menulis, pembelajar.

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi. Penulis kumpulan cerpen "Asa Di Balik Duka Wanodya", ,Novel “Serpihan Atma”, Kumpulan puisi”Kulangitkan Asa dan Rasa, 30 buku antologi Bersama dengan berbagai genre di beberapa komunitas. Motto: Belajar dan Berkarya Sepanjang Masa tanpa Terbatas Usia. Fb Nina Sulistiati IG: nsulistiati

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Puisi" Dua Puluh Tujuh Bait Ungkapan Cinta"

14 September 2025   16:11 Diperbarui: 14 September 2025   16:11 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

(11) Kita pernah lelah, bukan hanya raga, tapi juga jiwa, namun tatapanmu selalu berkata: "Jangan menyerah, kita masih punya cinta."

(12) Ada malam-malam penuh air mata, ketika kata-kata tak sanggup lagi jadi jembatan, namun genggaman tanganmu selalu menemukan jalan untuk kembali.

(13) Kita bukan pasangan sempurna, kadang bicara terluka, kadang sikap membuat luka, namun kasih sayang selalu menjadi obatnya.

(14) Duri-duri itu tidak pernah habis, satu hilang, tumbuh yang lain, namun kita belajar menapaki jalan, tanpa kehilangan arah.

(15) Cinta kita bukan hanya manis, ia juga getir, asam, dan pahit, namun justru di situlah letak indahnya, seperti kopi yang dinikmati hingga tetes terakhir.

(11) Waktu mengajari kita, bahwa bahagia bukan tanpa air mata, tetapi keberanian untuk tetap bersama, meski dunia seolah menutup pintunya.

(12) Anak-anak kita jadi saksi, bagaimana badai datang silih berganti, namun rumah tetap berdiri, meski tiang-tiangnya kadang goyah.

(13) Kita belajar dari kegagalan, dari luka yang kita torehkan, dari janji yang sempat hampir terlepas, lalu kita ikat kembali dengan doa.

(17) Ada saat-saat di mana aku ingin menyerah, namun aku melihatmu tetap setia, lalu aku sadar: aku tak boleh kalah oleh rasa lelah.

(18) Kasihmu adalah tambatan, ketika kapal hampir karam, kau berdiri di ujung dek, menjadi lentera yang menunjukkan arah.

(19) Kadang kita berjalan di jalan sunyi, hanya bayangan kita yang menemani, namun genggaman erat di antara jemari membuat sepi itu tak terlalu menyiksa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun