Aku duduk di meja yang sama dengan kursi yang sama dan gelas sama. Warung kopi ini menjadi saksi yang belum berubah sejak terakhir kita datang. Hanya saja, kini kamu tak ada di seberangnya.
Segelas kopi hitam telah mengepul di hadapanku. Aroma pahitnya menggoda, persis seperti dulu saat kita pernah diskusi panjang soal hidup, mimpi dan arah masa depan. Tapi kali ini, kopi itu tak kunjung aku seruput. Rasanya seperti ada yang kurang, bukan juga pada gulanya, tapi pada percakapan hangat yang tak ada lagi.
Kamu mungkin sudah lupa, tetapi di warung kopi inilah saat aku pertama kali mengenang caramu tertawa lepas. Di sini kamu pernah menangis saat beban dunia terlalu berat di pundakmu. Dan aku, hanya duduk disitu, mencoba jadi pelindung dalam diam. Kita mungkin bukan siapa-siapa, tapi waktu rasanya punya segalanya.
Kini, waktu berjalan begitu sangat cepat. Kita bukan lagi sepasang yang saling berbagi cerita dan bertukar kabar. Kini, kamu sibuk dengan duniamu, dan aku masih ada disini, berusaha kuat untuk berdamai dengan kenangan indah.
Namamu sesekali muncul di layar ponsel, bukan pesan yang masuk, tapi sebagai nama yang tak berani aku ketik. Rindu, kadang menyelinap seperti angin di malam hari, tak terlihat tapi bisa di rasakan. Bukan karena aku tak bisa melupakan dirimu, tapi karena tak ada yang benar-benar menggantikan peranmu.
Ada yang bilang, kenangan itu seperti kopi yang sudah dingin. Panasnya tidak bisa dikembalikan, tapi tetap punya rasa yang sama. Begitulah kamu bagiku. Meski tak bisa hadir lagi secara nyata, kamu tetap ada, menetap diam-diam di ruang hati yang tak aku kunci.
Hari ini, aku akhirnya berani menyeruput kopi itu. Sudah dingin, tetap tetap terasa nikmatnya. Seperti kamu, seperti kenangan yang tak lagi hangat tapi tak pernah juga hilang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI