Apa yang salah denganku? Aku benci penampilanku! Aku tidak pernah merasa bahagia! Harga diri mereka yang masih rentan tergoyahkan itu, pada akhirnya, menyebabkan penolakan terhadap diri sendiri.
Baiklah, itu normal; benar-benar normal. Bisa saya katakan, itu proses yang bagus menuju kedewasaan jika dimengerti dengan rendah hati. Tetapi kehadiran media sosial tidak cukup mengindahkan harapan tersebut dan malah mengacaukannya secara lembut.
Masa pubertas yang dijalankan bersama media sosial membuat remaja terlalu mengandalkan matanya dalam mencari jati diri. Implikasi dari pengandalan mata adalah cara kerjanya yang hanya bisa fokus pada apa yang ada di luar diri kita.
Para remaja melihat dengan teliti setiap unggahan yang mereka jumpai di layar beranda. Mereka menilai orang lain berdasarkan apa yang diunggahnya. Entah penilaian positif atau negatif, mereka menganggap itu sebagai wajah asli orang lain yang apa adanya.
Hasrat untuk mencari jati diri pun mulai goyah. Ketika mereka melihat teman sebayanya mengunggah foto dengan paras menawan di Instagram dan kolom komentarnya dipenuhi pujian yang menggoda, mereka sepenuhnya mengandalkan mata.
Apa yang mereka lihat tersalurkan pada pikiran bahwa dirinya ingin seperti temannya itu, dan jati dirinya pun mulai terpalsukan. Secara lembut mereka berbisik pada dirinya sendiri bahwa mereka ingin menjadi seperti temannya.
Di media sosial, mereka hanya melihat topeng dan belum tentu tahu apa yang ada di balik topeng itu. Ketika mereka terpesona oleh topeng orang lain, mereka sendiri pun mulai menggunakan topeng dengan harapan hasil yang sama akan diperoleh.
Media sosial, pada akhirnya, dipenuhi topeng tentang siapa yang lebih baik atau siapa yang lebih unggul.
Pencarian jati diri mulai berbelok. Mereka tidak lagi mencari siapa mereka. Kenyataannya, mereka hanya membentuk identitas palsu tentang siapa mereka seharusnya di mata orang lain.
Jati diri datang ketika kita mampu mengkonsolidasikan siapa diri kita. Dengan begitu, kita tidak bisa mengandalkan mata yang hanya bisa melihat ke luar diri kita. Lebih dari itu, kita perlu mendengarkan kata hati dan mengolahnya dengan pikiran.
Dalam media sosial, kita melihat siapa orang lain atau bagaimana identitas mereka. Ketika kita begitu terpesona dengan apa yang telah dilakukan orang lain, kita semakin banyak meluangkan waktu untuk berpura-pura menjadi seseorang yang bukan kita.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!