Remaja yang ikut campur pada "permasalahan orang dewasa" menjadi tidak terkendali. Saya ambil contoh masalah politik. Tentu Indonesia menganut sistem demokrasi. Adalah hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam perpolitikan negaranya.
Tetapi remaja kita terlalu memaksakan. Mereka berbicara ketika mereka tidak tahu apa-apa. Sekarang pertanyaannya: jika mereka tidak begitu mengerti tentang politik, bukankah lebih baik mereka diam dan mengamati untuk pembelajaran?
Masa pubertas tidak memudahkan itu. Sebagai remaja yang penuh hasrat untuk mencari jati diri, remaja menjadi haus akan pujian, perhatian, dan pengakuan. Mereka membicarakan sesuatu yang tidak dimengertinya hanya untuk mendapatkan nama yang (seharusnya) terpandang.
Kolom komentar dipenuhi oleh emosi-emosi yang tidak terkendali dan amat labil. Mereka menyuarakan sesuatu yang katanya "suara rakyat", saling menyindir dengan penuh gairah dan berkata kotor tanpa batas. Ujung-ujungnya adalah kekisruhan.
Pada kasus yang lebih jauh, mereka berdebat tentang sesuatu yang begitu asing baginya. Dan mereka pikir mereka benar. Itulah yang kemudian melahirkan lebih banyak fanatisme di dunia ini.
Media sosial yang memungkinkan komunikasi secara tidak langsung malah berpotensi mendorong sifat kejam pada diri anak-anak dan remaja.
Mereka mengirim pesan tentang segala macam hal yang tidak akan pernah Anda pikirkan dalam sejuta tahun untuk mengatakannya di depan siapa pun secara langsung. Perang emosional berkecamuk secara terselubung tak terdeteksi.
Kematangan Organ Seksual
Salah satu implikasi terjelas dari kehadiran media sosial adalah kemudahan dalam berinteraksi. Namun belakangan ini, atau bahkan sejak kehadirannya, media sosial juga menjadi sarana untuk mencari pasangan tanpa terhambat ruang yang jauh.
Bagi mereka yang mengalami masa pubertas, ini adalah sungai yang teramat luas untuk memancing banyak ikan. Hal ini bukan hanya terkait dengan kematangan organ seksual, tapi juga meningkatnya kerentanan terhadap rasa kesepian.
Perubahan besar dari kehadiran media sosial adalah bahwa kita tidak pernah benar-benar sendirian. Hasilnya adalah anak-anak dan remaja merasa sangat terhubung satu sama lain. Percakapan tidak pernah berhenti, dan rasanya selalu ada sesuatu yang baru terjadi.
Tetapi, ada suatu paradoks yang sayangnya cukup menyayat hati: semakin sering mereka berinteraksi secara tidak langsung, semakin mungkin mereka merasa kesepian dan cemas.