Orang dewasa mungkin akan menertawakan anak-anak yang dikiranya permasalahan sepele, di samping fakta bahwa mereka juga pernah anak-anak. Bahkan sebaliknya, anak-anak menertawakan orang dewasa yang dipikirnya terlalu ribet dan berbelit-belit.
Remaja tidak ada bedanya. Tetapi yang lebih buruk adalah, anak-anak dan remaja menjadi turut ikut campur dalam permasalahan orang dewasa. Media sosial mempertemukan masing-masing "kebudayaan" secara sempurna. Fitur filter hampir tidak berguna.
Anak-anak dan remaja menjadi dewasa terlalu cepat (dalam konotasi negatif).
Beberapa hari yang lalu, saya selesai berbelanja dari minimarket dan hendak pulang menggunakan motor. Seraya menggunakan helm, saya mendengar percakapan sekumpulan bocah yang sedang sibuk dengan ponselnya masing-masing di depan minimarket.
Salah satu dari mereka berkata (sebenarnya dalam Bahasa Sunda), "Eh, lihat! Dinar Candy demo di pinggir jalan pakai bikini!" Kemudian mereka membicarakan bagian-bagian tubuh dari orang tersebut dan membuat saya tertawa sendiri.
Sungguh, saat itu saya tidak tahu siapa orang yang mereka bicarakan. Tapi ketika saya melihat berita itu ramai di Instagram, saya kembali tertawa dan sedikit jengkel. Ah, ayolah! Saya bahkan ragu mereka sudah SD! Mengapa mereka terlalu cepat mengerti?
Media sosial telah memungkinkan kita untuk mengetahui segala permasalahan yang sedang terjadi di dunia. Dan itu bagus. Tapi di sisi lain, kita menjadi begitu sulit untuk menyaring informasi yang semestinya ditujukan pada siapa.
Anak-anak dan remaja menjadi lebih cepat mengerti tentang dunia orang dewasa. Media sosial telah mempertemukan "permasalahan partikular" dari masing-masing generasi dengan cara yang fantastis. Dan sepertinya memang tidak ada yang salah dengan keabsurdan ini.
Hanya saja, masing-masing generasi tidak bisa mengendalikan dirinya dan saling mengerti sehingga mereka keluar dari jalur yang semestinya. Bus mereka telah menabrak pembatas dan terjatuh ke dalam ngarai yang tidak diketahui bagaimana cara keluarnya.
Apa implikasi kekacauan ini terhadap masa pubertas?
Emosi yang masih labil ketika mengalami pubertas mesti kita curigai sebagai dalang utama dari gagalnya "pengembangan diri yang esensial".