Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Masa Pubertas Menjadi Ambyar karena Media Sosial

15 Agustus 2021   05:30 Diperbarui: 17 Agustus 2021   16:00 1030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masa pubertas menjadi semakin kacau dengan kehadiran media sosial | Ilustrasi oleh Kathy Bugasjsky via Pixabay

Percakapan yang tidak pernah berhenti di media sosial menjadikan hubungan mereka tidak asli dan berkualitas. Mereka malah menggantungkan kesenangan mereka pada hubungan abu-abu tersebut, dan pada akhirnya rentan cemas, bahkan kecewa.

Kita semua memiliki ponsel dan bisa merespons berbagai hal dengan cepat, jadi ketika Anda menunggu jawaban yang tidak datang, keheningan bisa memekakkan telinga.

Perlakuan diam dari teman bercakap mungkin merupakan penghinaan halus atau hanya efek samping yang amat menjengkelkan dari hubungan remaja di media sosial yang dimulai dengan intens, tetapi kemudian memudar.

Bagaimanapun juga, rasa kesepian hanya akan terobati dengan hubungan yang berkualitas dan bukannya dengan saling lempar stiker lucu di mana masing-masing orang hanya fokus terhadap gawai hingga berpura-pura tertawa lewat jarinya yang terkadang munafik.

Emosi labil, ketika remaja mulai diabaikan oleh teman bercakapnya, akan mendorong persepsi yang melebih-lebihkan bahwa temannya itu mulai membencinya atau memusuhinya atau mengenyahkannya.

Andaikan setiap orang berusaha untuk mengerti, mereka akan tersadar bahwa sebenarnya ... waktu sendirian itu juga penting.

Kita membutuhkan jeda dari tuntutan keintiman dan koneksi; waktu sendirian untuk berkumpul kembali dan hanya bersantai. Ketika Anda tidak memilikinya, mudah untuk menjadi terkuras secara emosional, lahan subur bagi kecemasan untuk berkembang biak.

Kematangan organ seksual tidak disikapi dengan bijaksana. Dan ya, itu wajar. Tetapi bagaimanapun juga, selalu ada batas yang semestinya kita jaga baik-baik demi diri kita sendiri.

Sebenarnya, di sinilah peranan keluarga dan sekolah untuk mengarahkan mereka yang pubertas pada jalan yang semestinya. Saya tidak pernah mengatakan bahwa semua gejala mesti dihindari secara radikal.

Justru kebalikannya, saya berpendapat bahwa gejala-gejala psikis yang "negatif" itu perlu dialami oleh kita. Saya merenungkan itu sejak setahun terakhir bahwa pada faktanya, saya sangat bersyukur terhadap apa yang telah saya derita.

Penjelasannya bisa melebihi batas tulisan ini. Tetapi masalah intinya adalah, masa pubertas yang berhadapan dengan kondisi-kondisi suram itu tidak akan menjadi bencana seandainya setiap orang bisa memetik pelajaran berharga darinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun