Barangkali hal yang membedakan masa pubertas generasi kini dengan generasi sebelumnya terletak pada apa yang menjadi realitas, di mana pada masa sebelumnya hanya ada satu realitas, tetapi saat ini ditambah satu realitas, yaitu dunia maya.
Media sosial bukan lagi sekadar hiburan atau sumber daya komunikasi, melainkan menjadi suatu "realitas" tersendiri yang bersifat unik (atau aneh). Banyak orang yang tidak melakukan apa-apa dalam dunia nyata, tetapi mereka begitu populer di media sosial.
Pada akhirnya, karena dunia itu lebih menyenangkan bagi mereka, media sosial dianggap sebagai realitas "nyata" yang mereka miliki.
Ini aneh, tetapi contoh yang mungkin kita harapkan sungguh begitu banyak hingga saya sendiri enggan menyebutkannya di sini. Lagi pula, contoh itu tidak akan berguna karena saya yakin orang yang dimaksud (nyaris) selalu ada di sekitar kita.
Di sisi lain, masa puber adalah masa yang tidak terhindarkan. Pada saat yang bersamaan, mereka yang sedang mengalami pubertas juga tidak bisa menghindari kehadiran media sosial. Dunia maya itu begitu menarik dan menawarkan banyak kesenangan.
Menawarkan media sosial kepada remaja itu seperti menawarkan permen kepada anak-anak. Meskipun pada awalnya terkesan asing, mereka tenggelam dalam keasingan tersebut. Dan mari kita lihat bagaimana media sosial mengacaukan masa pubertas mereka.
Pencarian Jati Diri
Remaja dan khususnya awal dua puluhan adalah tahun-tahun di mana mereka benar-benar menyadari tentang perbedaan antara siapa mereka tampaknya dan siapa mereka menurut pikirannya.
Dalam artian lain, secara psikologis, masa pubertas dicirikan oleh pencarian jati diri dengan keadaan emosional yang masih labil. Media sosial memungkinkan remaja untuk membentuk identitas online, berkomunikasi dengan banyak orang dan membangun jaringan sosial.
Jaringan ini dapat memberikan dukungan yang berharga bagi mereka, terutama membantu mereka yang merasa terkucilkan atau penderita disabilitas atau penyakit kronis. Dalam pandangan ini, media sosial begitu mengasyikkan.
Masalahnya, awal remaja adalah usia intoleransi di mana perbedaan atau penyimpangan yang mereka rasakan tidak diperlakukan dengan baik. Mereka pun berpotensi untuk mengeluhkan kekejaman sosial ini secara pribadi.