Media Sosial dalam Sepi
Di layar kecil yang tak pernah tidur,
kita terjebak dalam guliran tanpa ujung.
Lucu, katanya,
lucu adalah selimut malam yang melupakan,
selimut dari dunia yang gaduh,
dari kebodohan yang menari-nari.
Di ujung jemari,
tercipta kebodohan yang terstruktur,
konten demi konten,
mengalir deras seperti sungai yang lupa muaranya.
Kita menyalahkan,
kreator yang menari di atas permintaan,
tanpa sadar,
kita adalah penonton setia di kursi depan,
mengunyah pelan-pelan,
lupa bahwa setiap gigitan membawa kita
ke dalam lingkaran yang sama.
Ada tawa yang digulung,
dalam hiburan tanpa akhir,
kita lupa,
di balik layar ini ada kehidupan yang bersembunyi,
terseret arus tren yang memabukkan.
Kita lupa,
bahwa bijak adalah memilih apa yang tidak tampak,
mengikuti jejak yang hilang
di antara beranda yang tak pernah diam.
Media sosial,
bukan ruang hampa yang tak berdosa,
di dalamnya, kita letakkan sebagian diri
yang ingin diakui,
diakui oleh algoritma yang tak mengenal rasa.
Kita menari di atas arus,
mengais puing-puing perhatian,
sambil melupakan,
bahwa di sini, di dunia nyata,
ada yang lebih nyata dari sekadar like dan follow.
Di sela-sela notifikasi yang memburu,
kita temukan sepi
yang tak bisa diukur oleh jumlah komentar,
sepi yang hanya bisa dipeluk
oleh keberanian untuk berhenti,
dan melihat kembali,
apa yang sebenarnya kita cari,
dalam guliran tanpa akhir ini.