"Poltak!"
Poltak terkejut. Itu suara panggilan yang akrab di gendang telinganya. Kapak tertahan di atas kepalanya. Â Tak jadi diayunkan membelah kayu bakar. Â
"Berta! Â Nantulang! Horas!" Â Poltak bergegas menyalami nantulangnya, ibu Berta.
"Horas, bere Poltak. Â Ada ompungmu di rumah, kan?"
"Ada, nantulang."
Baru tadi siang di sekolah Poltak menitip pesan neneknya lewat Berta untuk tulang dan natulangnya, ayah dan ibu Berta.  Ada titipan dari Ompung Purbatua di Hutabayu untuk Ama Rumiris, ayah Berta, tulang Poltak.
Ama Rumiris itu anak lelaki Ompu Soaduon. Ompu Soaduon kakak-beradik dengan Ompu Purbatua dan nenek Poltak. Ompu Soaduon punya dondontua, sebidang sawah pemberian kakeknya untuk dirinya sebagai cucu laki-laki sulung. Â Setelah Ompu Soaduon meninggal dunia, sawah itu diwariskan kepada Ama Rumiris.
Sawah dondontua itu kini digarap oleh Ompu Purbatua secara mamola pining, belah pinang atau bagi hasil separuh-separuh. Ompu Purbatua menitipkan hasil sawah itu dalam bentuk uang hasil penjualan gabah kepada nenek Poltak, untuk disampaikan kepada Ama Rumiris.
"Bah, horas, eda! Â Mari, masuk ke rumah." Â Nenek Poltak muncul di ambang pintu depan. "Sini Berta, masuk."
"Aku di luar saja, ompung. Menemani  Poltak belah kayu."  Berta menyalami nenek Poltak, kemudian berbalik mendekati Poltak yang sedang berdiri di halaman, bertelekan pada ujung tangkai kapak.