Melihat Marcus yang duduk sendirian di ruang kerjanya, membuat Melia tak tega melihat suaminya terus bersedih karena kehilangan pekerjaan.
"Sabar, Sayang. Pasti ada jalan keluarnya. Kan juga masih ada aku yang bekerja. Tenang saja," ucap Melia.
"Tapi kan, aku suami kamu. Aku yang seharusnya memberimu nafkah, aku yang seharusnya menghidupimu. Bukan justru sebaliknya," ucap Marcus disertai keluarnya air mata.
Melia kembali memeluk suaminya, dia merasakan air mata itu membasahi bahunya.
"Tidak apa-apa Sayang. Ini kan terjadi karena virus sialan itu. Bukan karena kamu yang tidak mau memberiku nafkah." Ucap Melia masih dengan memeluk suaminya.
"Terima kasih ya, kamu sangat pengertian sama aku." Jawab Marcus.
Waktu menunjukkan pukul 09.00, Melia bersiap untuk memberikan kuliah paginya. Sementara Marcus masih di ruang kerjanya, menghitung perkiraan biaya dan waktu untuk melanjutkan proyek jalan tol ibu kota baru yang sedang mandek itu.
Marcus melihat dari jendela ruang kerjanya, langit yang awalnya biru berubah menjadi gelap disertai angin kencang yang menyapu daun-daun di jalanan depan rumahnya. Tidak hanya itu, pohon kelapa yang berdiri kokoh di seberang jalan dibuatnya bergoyang.
Akhirnya hujan turun, menumpahkan seluruh airnya disertai kilatan cahaya dan suara yang mengagetkan seperti menggambarkan perasaan Marcus yang sedang tercabik-cabik oleh beratnya kehidupan.
Dengan perasaan sedih, Marcus memberi kabar kepada para pekerjanya terkait proyek jalan tol ibu kota baru.
"Selamat siang, Pak Darwin." Ucap Marcus kepada manajer proyek yang ditunjuknya.