Pasar yang semula ramai, kini hanya terlihat kios-kios pedagang tertutup rapat oleh pintu-pintu besi. Restoran Le Taillevent yang biasanya ramai pengunjung hingga mengular ke seberang jalan, kini harus gulung tikar.
Pada malam hari, mereka tidur bersama sebagai sepasang kekasih yang sedang merindukan hadirnya tangis dan tawa buah hati di rumah mereka.
Malam itu, terbesit di kepala mereka untuk segera memiliki anak. Kesibukan bukan lagi yang menjadi alasan mereka. Sebab, Divoc telah memaksa mereka tinggal di rumah lebih lama.
Suara ayam yang merdu di pagi hari berhasil membangunkan mereka yang masih terlelap dalam tidurnya. Mereka bangun lalu duduk di kursi panjang yang menghadap ke luar jendela rumah mereka.
Mereka melihat kota berubah sangat sepi, hanya beberapa kendaraan yang lewat serta petugas kepolisian dan orang-orang berpakaian seperti antariksawan yang berjaga di beberapa titik.
Kedatangan Divoc membuat semua orang menjadi susah, banyak orang putus kerja karena perusahaan memberhentikan produksinya, pasar-pasar juga harus tutup untuk sementara waktu.
"Gimana pekerjaan kamu?" tanya Melia.
"Belum tahu kelanjutannya. Masih dihentikan," jawab Marcus.
"Ya sudah, sabar ya. Ini kamu minum dulu tehnya." Ucap Melia sambil menyodorkan satu gelas teh.
Marcus meminum teh buatan istrinya. Nikmat, dahaga di tenggorokannya langsung hilang. Teh itu juga memberinya kehangatan di tengah musim dingin yang sedang menghampiri.
Marcus memandang Melia dengan serius, menatap matanya yang indah, lalu menciumnya dan berucap, "Terima kasih, ya."