Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ketika Bukan Lagi Ibu Kota

25 Maret 2024   15:35 Diperbarui: 25 Maret 2024   15:37 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Setelah tidak lagi menjadi ibukota negara rasanya aku ingin pulang saja. Pulang kepada rimbun pagi yang di penuhi burung-burung. Pulang kepada matahari yang hangat sebelum di selimuti gedung-gedung. 

Menikmati jalan setapak yang lengang berselimut sejuk kabut. Mendengar riuh air kali Ciliwung di mainkan anak-anak sebelum akhirnya hanyut di laut.

Malamnya aku ingin bermesraan dengan rembulan dan angin malam di pantai utara. Merasakan sentuhan sinar lampu mercusuar yang mengambang di permukaan laut seraya berkata "Apa kabar Jakarta. Sudah sembuhkah luka-luka di dalam dada?". 

Ku bayangkan belum ada pulau-pulau buatan. Belum ada pabrik-pabrik, gudang-gudang alat berat dan komplek perumahan. Selain sampan-sampan kayu milik nelayan miskin yang berjuang mencari makan, sampai sekarang.

Sungguh bukan mauku, bukan pula kehendakku. Apa daya diriku yang renta ini sebentar lagi hilang tenggelam di sapu air laut. Setelah sekian lama menampung keluh kesah, keringat, amarah dan pertumpahan darah. Adakah yang lebih tabah ketika dirimu di tinggalkan setelah habis di jarah.  

Sebentar lagi sayang, sebentar lagi ku lepaskan segala apa yang telah tersemat di dada. Semuanya memuakkan bukan. Terbayang wajah anak-anak miskin bermain bola di kolong jalan tol, pelacur-pelacur berhamburan turun ke jalan, pedagang kaki lima yang terjepit kemacetan jalan, banjir rob yang tak bisa lagi di tahan. 

Samar-samar lampu jalan menerangi tubuhku yang bersimpuh kesepian. Di beberapa tempat kulitku nampak keriput serta penuh lubang. Puisi-puisi usang bertebaran mengenai diriku dahulu. Aku bukan pecundang, bukan pengecut. Kalian telah paksa aku menurut demi segelintir kelompok yang hanya mementingkan perut.

Tetapi ya sudahlah. Sudah takdirnya. Saat ini aku ingin berkunjung ke makan Fatahilah. Mengenang meriam dan bala tentaranya saat mengusir para penjajah. Dan aku tetap Jakarta. Tanah yang kalian pijak serta kalian sembah.

Handy Pranowo

25 Maret 2024

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun