Mohon tunggu...
Mia Ismed
Mia Ismed Mohon Tunggu... Guru - berproses menjadi apa saja

penyuka kopi susu yang hoby otak atik naskah drama. pernah nangkring di universitas negeri yogyakarta angkatan 2000. berprofesi sebagai kuli di PT. macul endonesa bagian dapor

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tanah Tembuni

1 Oktober 2019   09:15 Diperbarui: 1 Oktober 2019   10:08 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Emak                     : "Emakmu Masih sehat, apa kalian tega menjual tanah ini, terus Emak harus lari kemana menumpang hidup?. Barangkali kalian cukup menunggu beberapa waktu saja melihat Emakmu hidup Le." (Emak berdiri, mendekati jendela. Dilihatnya halaman rumah. Disebelah kanan halaman terdapat pohon bambu berusia puluhan tahun)

"Di pekarangan ini tembuni kalian ditanam. Juga dirahim Emakmu yang sudah peot ini tembuni bersemayam. Apakah kalian melupakan itu aNak-aNakku, cah bagus? Lalu, Masih pantaskah kalian menagih tembuni itu untuk kalian makan? Padahal tembuni adalah saudara kalian ketika di alam kegelapan."

Guntoro               :"Tapi Mak, tanah itu harus segera dibagikan! (suaranya meninggi tak sabar melihat sikap Emak) Mumpung Emak Masih ada, jadi kami semua mendapatkan kepastian Mak!"

Bayu aji                :"Betul kata Mas Gun Mak. Tak ada yang perlu ditunggu. Toh nantinya pekarangan ini juga akan dibagikan ke anak-anak Emak bukan?. (berdiri mendekati Emak) Dan Emak bisa tinggal bersama Ndaru di pekalongan, mengontrak barangkali. Terus terang rumah kami juga sangat sempit dihuni anak istri."

Ndaru                   :"Cukup Mas!. (suaranya parau) Kalian sudah keterlaluan sekali. Dimana hati Mas. Jika harta adalah tujuan hidup kalian. Seumur hidup Mas nggak akan tentram. Segala macam cara Mas lakukan untuk mendapatkannya. Siapa yang akan memilih Mas sebagai pamong desa kalau hati Mas seperti srigala!" (tangannya menggebrak pintu rumah, seakan ia lupa berdiri di atas tongkat kayu)

Guntoro               :"O... adiku luar biasa, pintar berkhutbah ya sekarang, mau berlagak sebagai pahlawan (Guntoro bertepuk tangan mendekati Ndaru. Suaranya meninggi matanya melotot) kamu tahu apa! Ha... kamu pikir hidup itu hanya serangkaian teori! Baca buku, dihapal, menjawab pertanyaan seLesai?!. Aku ini ndak usah digurui. Sudah banyak Masmu ini makan asam garam." (badannya mendekati Ndaru sangat Lekat seakan mau melahap tubuh Ndaru yang kurus kering tak bertenaga. Ndaru tersungkur dan jatuh)


Emak                     :"Gusti Allah...Nyebut Le, bapak Emakmu ndak pernah ngajari kalian seperti ini. Bisikan  mana yang sudah menghasut hati kalian." (Emak ngelus dada sembari mengangkat tubuh Ndaru yang kepayahan untuk berdiri menyangga tongkatnya)

"Hari ini kita di atas tanah, barang kali esok tanah sudah di atas kita. Kita ini berasal dari  tanah bakalan pulang dikumpulkan bersama tembuni yang setia menanti didalam tanah."

"Di pekarangan ini bapak kalian menanam bambu yang tak hentinya memberikan kehidupan di ruas-ruas batangnya. Tangan-tangan kekar itu menyulam mimpi kalian menjadi dinding manis agar kalian bisa sekolah dan mempunyai pengharapan."

"Kini bapakmu sudah pergi menyusul tembuni-tembuni yang ia tanam dengan garam di gerabah itu."

"Dan tidak habis piker, kalian hari ini menjadi buas tega mau menjual tembuni-tembuni itu. Padahal tempat tembuni itu Masih hidup. Lalu kau gadaikan kemana hati kalian itu Le?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun