Karena paham bahasa Inggris, Nullok mulai berani membuka casing komputer. Ia kaget melihat isi dalamnya: motherboard, RAM, kartu grafis, power supply. Semuanya terpasang rapi seperti organ tubuh.
"Kalau salah pasang, bisa mati total," katanya pada dirinya sendiri.
Tapi rasa ingin tahu lebih besar daripada rasa takut. Ia belajar mengganti RAM, membersihkan debu dengan kuas, sampai mengganti kipas pendingin. Kadang berhasil, kadang gagal, tapi setiap kegagalan menambah pengetahuan.
Untungnya pamannya tidak komplain, dia memberikan kebebasan sepenuhnya kepada Nullok.
Tak lama, kabar pun menyebar. "Ada anak muda yang bisa memperbaiki komputer," begitu bisik tetangga.
Orang-orang mulai datang, membawa komputer error. Bayarannya sederhana: beberapa buah pisang goreng, segelas kopi, atau sepiring nasi goreng.
Tapi Nullok merasa seperti profesor. Bayangkan, otodidak, tapi mumpuni.
Sekitar 1992, ia pertama kali mengenal Windows 3.1. Tampilan grafis dengan ikon-ikon membuatnya ternganga.
"Lho, komputer bisa digambar? Ada mouse pula?" katanya takjub.Â
Beda jauh dari MS-DOS.
Ia belajar menggerakkan pointer, membuka Program Manager, menjalankan Paintbrush, menulis di Notepad. Semua terasa seperti dunia baru. Teman-temannya kagum ketika melihat ia menggambar kotak dan lingkaran di layar.