"Kamu sakit?" tanyanya.
Nullok hanya mengangguk pelan.
Mereka berdua diam. Sama-sama tahu: rumah ini bukan tempat pulang, tapi tempat diuji.
Pukul 23.17 -- Tangisan yang Tak Berhenti
Sudah tiga malam berturut-turut, bayi Dariawati tidak tidur dengan tenang. Bukan karena demam. Bukan karena lapar. Tapi karena satu hal yang tidak pernah hilang dari rumah itu: asap rokok.
Di ruang depan, Hitler, ayah dari Marniwati dan Dariawati, sedang duduk di kursi rotan sambil menikmati satu batang dari slop keempat hari itu. Tangannya gemetar karena usia, tapi bibirnya tetap cekatan menarik nikotin ke paru-parunya yang entah terbuat dari apa.
"Bayi tuh manja! Dikit-dikit nangis!" katanya keras, ketika mendengar cucunya menjerit lagi. "Dulu kalian juga begitu, tapi ibu kalian gak ribet ngurusin. Gak manja kayak sekarang!"
Dariawati keluar dari kamar sambil menggendong bayinya yang menggigil. Matanya sayu, rambutnya acak-acakan. Tapi tidak satu pun yang peduli.
"Kami bukan manja, Pak. Bayinya sesak napas," katanya pelan.
Hitler melotot. "Kamu ngajarin aku? Aku ini kepala keluarga! Udah puluhan tahun hidup ini aku lewati, masa sama rokok aja ribut!"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI