Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

1-TikTok & Robot Dariawati

27 Juni 2025   15:04 Diperbarui: 27 Juni 2025   15:04 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.tiktok.com/discover/robot-cantik-viral

Pukul 04.12 pagi.

Alarm tidak berbunyi. Bukan karena lupa disetel, tapi karena Dariawati memang tidak tidur. Matanya sudah terbuka sejak pukul 2.17, setelah si kecil menangis karena batuk.

Bau rokok ayahnya, Hitler, yang entah kenapa masih dipanggil begitu walau bukan nama asli, menyeruak dari kamar depan. Satu slop per hari, katanya. Tapi siapa yang menghitung? Selain paru-parunya sendiri.

Dariawati bangkit dari kasur tipis di lantai. Di sebelahnya, Nullok, suaminya, masih setengah terjaga, memeluk guling sambil mendengus pelan. Dariawati menghela napas, pelan. Ia tidak punya waktu untuk menunggu matahari menyapa. Karena sebelum itu, dia harus:

    Memasak nasi untuk 12 orang.

    Menyiapkan sarapan, untuk abang iparnya David dan kakak kandungnya Marniwati yang hanya mau makan telur setengah matang dengan roti panggang (pakai mentega luar, bukan margarin curah).

    Menyiapkan empat baju seragam untuk anak-anak Marniwati.

    Menyetrika sisa cucian kemarin 2 baskom besar.

    Mengeringkan cucian malam yang belum sempat dijemur.

    Memberi makan ayam petelur mereka.

    Bikin kopi untuk Hitler, yang akan marah kalau tidak panas dan hitam legam seperti kebenciannya terhadap generasi milenial.

Semua itu... sebelum jam 6 pagi.

06.45 --- Zona Operasi TikTok

Marti, ibu kandungnya tetapi selalu bersikap tidak adil, sang nenek agung, duduk di kursi goyang warisan ayah dan ibu mertuanya yang sudah meninggal, sambil menggulir TikTok di iPhone 16 Pro Max Platinum Edition.

Katanya, hadiah dari David, suami Marniwati sewaktu pulang dari Korea Selatan.

"Aduh, liat tuh bu! Masak nenek-nenek Korea bisa joget Baby Shark, masa aku gak bisa?" katanya sambil tertawa terbahak-bahak.

Di belakangnya, anaknya Dariawati sang kuli dan robot mereka, sedang jongkok sambil menyetrika baju dalam milik keponakannya anak dari Marniwati. Tangan kirinya mengelap ingus si bungsu, tangan kanan masih menggenggam setrika uap. Lehernya kaku, matanya merah.

"Daria... tehku mana?!" teriak Marti, masih asyik scroll.

Dariawati tersenyum palsu, "Bentar, Bu."

10.30 --- Mode: Robot Aktif

Dariawati mulai bermain peran. Hari ini, dia bukan manusia. Dia adalah Unit PRT-01: Pelayan Rumah Tangga Versi Darurat. Dia bicara dalam suara robot, matanya kosong, dan langkahnya kaku seperti habis charge setengah.

"Mode aktif: Mencuci. Mode aktif: Menyetrika. Mode aktif: Menyuapi manusia kecil tanpa akal."

Anak-anak Marniwati tertawa, mengira ini permainan baru. Mereka meniru, "Robot Daria, robot Daria!"

Tapi Marti? Tidak peka. Malah nyeletuk, "Bagus tuh, kamu kerja kayak robot aja Dariawati. Gak usah mikir. Biar cepet,"katanya sambil terus menatap layar ponselnya.

18.45 --- Masih Belum Tidur

Nullok baru pulang mengajar. Mukanya letih, mata sembab. Hari ini ada razia dadakan, dan dia nyaris terlambat karena harus bantu istrinya gendong galon jam subuh.

"Ada jadwal," kata Marti dingin. "Kamu antar pesanan kerupuk ke Bu Hajah. Habis itu, ambil ikan asin dari Udin. Trus bantu ayah mertuamu menimba perahu, katanya bocor."

Nullok menunduk. Dia kasihan melihat suaminya yang dianggap robot tidak bisa capek. Tetapi keadaannya tidak jauh dari dirinya. Dariawati hanya menatap kosong, "Unit PRT-01 akan standby. Sistem panas tapi baterai belum full."

23.03 --- Titik Ledakan

Dariawati sedang menyusui bayi sambil lipat handuk. Kantuknya berat. Dunia terasa berputar. Marti datang sambil bawa tas kresek.

"Daria, tolong jualin ikan ini ke warung depan. Cepet ya, sebelum besok basi."

Diam.

"Daria?" ulang Marti, suaranya mulai naik.

Dariawati bangkit. Ia menaruh bayi di atas bantal, meletakkan handuk di meja, dan menatap Marti tepat di mata.

"Unit PRT-01 mengalami sistem overload," ucapnya pelan.

"Ap---apa maksudmu?" tanya Marti, bingung.

Tiba-tiba Dariawati berdiri tegak, lalu...

MENJATUHKAN ikan ke lantai. Plastik pecah, air amis mengucur ke kaki Marti.

"Sistem darurat aktif. Prioritas: menjaga kewarasan. Menolak perintah tidak manusiawi. Mode: manusia kembali aktif."

Marti ternganga. Hitler keluar dari kamar karena mendengar suara. "Ada apa sih ribut-ribut?"

Dariawati berjalan pelan ke kamar, menutup pintu, dan untuk pertama kalinya dalam tiga tahun... mengunci pintu.

Dia menghabiskan malam di mana anak bayinya tertidur tidak tenang, selalu batuk-batuk karena pengaruh asap rokok. Celakanya, ayahnya tidak percaya jika bayi rentan asap kapal ayahnya.

Bodohnya juga para perawat dan dokter ahli tempatnya konsultasi, selalu mengatakan bayi mereka itu alergi, tidak satupun yang menyebutnya itu disebabkan oleh asap rokok.

Apa perawat dan para dokter serta dokter spesialis bayi itu begitu bodoh ya?

Pukul 00.12 -- Rumah Masih Terjaga

Angin malam menyusup masuk melalui celah-celah jendela tua. Rumah itu sunyi, tapi bukan karena semua tertidur. Sunyi karena semua lelah melawan.

Di ruang tengah, Nullok tengah duduk terdiam di atas sepeda motor tuanya. Di tangannya, satu kardus berisi kerupuk mentah yang harus diantar ke rumah Bu Hajah di kampung seberang.

Jaraknya hanya 2 km, tapi jam segini... terasa seperti ziarah ke planet lain.

Marti berdiri di ambang pintu, melipat tangan.

"Jangan lupa kembalian uangnya dicek. Jangan asal ya, kayak minggu lalu. Aku udah bilang, kita gak boleh rugi meski 500 perak!"

Nullok hanya mengangguk. Matanya merah. Tangannya menggigil. Di dalam rumah, suara bayi menangis samar-samar. Mungkin Dariawati sedang menyusuinya sambil mencoba merebahkan tubuh yang sudah 20 jam berdiri.

Pukul 00.35 -- Dalam Perjalanan

Sepeda motor tua itu menggerung pelan di tengah jalan gelap. Angin malam menampar wajah Nullok yang tertunduk. Jalanan berlubang, lampu jalan padam. Matanya berkedut.

Di depan toko kelontong yang tutup, dia berhenti sejenak. Terasa ngantuk sekali.

Ia hanya ingin memejamkan mata sebentar.

Tapi waktu tak mengenal belas kasih.

Pukul 01.52 -- Bangun di Tepi Got

Nullok terbangun dengan rasa nyeri di leher. Kardus kerupuk tergelincir, beberapa jatuh. Paha kanan kesemutan, dan dagunya terasa seperti dihantam batu kecil.

Ia bingung, lalu pelan-pelan duduk.

Seorang tukang ojek malam yang sedang ngopi di pos ronda menatapnya heran.

"Bang, lo pingsan ya?"

Nullok hanya senyum. "Enggak... cuma capek..."

Dengan sisa tenaga, dia ambil kerupuk yang jatuh, masukin lagi ke kardus, dan melanjutkan perjalanan.

Pukul 02.30 -- Kembali ke Rumah

Marti menunggu di ruang depan. Sambil rebahan, iPhone 16-nya masih menyala. TikTok terus diputar. Tangan kanannya mengelus-elus layar, sementara tangan kirinya memegang buku catatan utang piutang rumah.

Begitu Nullok masuk, dia hanya berkata:

"Lama banget. Tuh, si ayah udah tidur. Nanti pagi kamu harus bantu perbaiki perahu, ya."

Nullok tidak menjawab. Ia melangkah ke dapur, meminum air keran dingin tanpa bicara, lalu merebahkan diri di lantai samping dapur. Ia tak punya energi untuk jalan ke kamar.

Pukul 05.30 -- Dariawati Bangun Duluan

Bayi belum tidur semalaman. Matanya sembab, badannya panas.

Dariawati membawa bayinya keluar kamar, melewati Nullok yang masih tertidur di lantai, dengan kardus kerupuk kosong di sampingnya.

Ia menatap suaminya. Hatinya perih.

Lalu terdengar suara Marti dari ruang tengah:

"Daria, ayam belum dikasih makan. Nasi belum mateng. Baju anak-anak belum disetrika. Kamu pikir kamu libur?!"

Dariawati diam.

Bayi di pelukannya menjerit.

Pukul 06.15 -- Batas Kesabaran Diuji

Di dapur, Dariawati menyiapkan sarapan. Marti duduk di meja makan sambil tertawa menonton TikTok challenge baru: "Goyang Jempol Bumbu Dapur." Tangannya menyuap nasi goreng yang dibuat Dariawati 30 menit lalu.

David dan Marniwati turun dari kamar dengan wangi parfum mahal. Anak-anak mereka menyusul di belakang sambil ribut soal cereal yang kurang manis.

Marti bangkit, menoleh pada Dariawati yang terlihat linglung.

"Kenapa kamu pucat? Jangan sakit! Nanti kerjaan rumah berantakan!" katanya sambil tertawa.

Semua ikut tertawa. Dariawati menunduk. Tawa itu... seperti hujan cuka di atas luka.

Pukul 07.30 -- TikTok Live Bikin Luka

Marti memutuskan untuk live TikTok. Dia duduk di dapur, mengatur kamera sambil berkata:

"Pagi, bestie-bestie! Nih, aku live langsung dari rumah. Liat deh dapurku! Walau rame, tetap rapi! Semua karena aku tegas dan displin!"

Ia mengarahkan kamera ke Dariawati yang sedang menyapu dengan wajah letih.

"Nah, ini anakku satunya... walau bukan orang penting, tapi kalau disuruh, cepat! Kan penting itu kerja, bukan gaya!"

Penonton di TikTok mulai memberikan komentar:

    "Keren banget Bu Marti!"

    "Punya anak rajin, enak ya!"

    "Kayak di sinetron deh!"

Dariawati diam. Tidak tersenyum. Tidak bereaksi.

Ia tidak mau lagi menjadi konten bagi orang yang tidak tahu rasanya dicuci pakai omelan, dijemur dengan beban, dan disetrika dengan harapan yang dibakar habis.

Pukul 10.00 -- Retak Makin Dalam

Di dapur, Nullok melihat ponsel tuanya. Ia baru membaca pesan dari kepala sekolah:

"Pak Nullok, mohon lebih fokus. Murid Bapak banyak yang tidak puas. Bila tidak berubah, kita evaluasi posisi Bapak di semester depan. Tapi itulah nasib guru honor."

Tangannya lemas. Hari ini belum mandi. Semalam hanya tidur satu jam.

Dariawati muncul dari belakang, membawa ember cucian. Ia berhenti, menatap suaminya.

"Kamu sakit?" tanyanya.

Nullok hanya mengangguk pelan.

Mereka berdua diam. Sama-sama tahu: rumah ini bukan tempat pulang, tapi tempat diuji.

Pukul 23.17 -- Tangisan yang Tak Berhenti

Sudah tiga malam berturut-turut, bayi Dariawati tidak tidur dengan tenang. Bukan karena demam. Bukan karena lapar. Tapi karena satu hal yang tidak pernah hilang dari rumah itu: asap rokok.

Di ruang depan, Hitler, ayah dari Marniwati dan Dariawati, sedang duduk di kursi rotan sambil menikmati satu batang dari slop keempat hari itu. Tangannya gemetar karena usia, tapi bibirnya tetap cekatan menarik nikotin ke paru-parunya yang entah terbuat dari apa.

"Bayi tuh manja! Dikit-dikit nangis!" katanya keras, ketika mendengar cucunya menjerit lagi. "Dulu kalian juga begitu, tapi ibu kalian gak ribet ngurusin. Gak manja kayak sekarang!"

Dariawati keluar dari kamar sambil menggendong bayinya yang menggigil. Matanya sayu, rambutnya acak-acakan. Tapi tidak satu pun yang peduli.

"Kami bukan manja, Pak. Bayinya sesak napas," katanya pelan.

Hitler melotot. "Kamu ngajarin aku? Aku ini kepala keluarga! Udah puluhan tahun hidup ini aku lewati, masa sama rokok aja ribut!"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun