Di layar kaca nan gemerlap,bergema suara tanpa makna,penyiar tersenyum lebar lepas,
menyambut tamu tukang dusta.
Fitnah dijahit jadi berita,
bumbu provokasi ditambah cita,
"klik" dan "rating" jadi dewa,
kebenaran? Ah, cuma sisa.
Pecah belah dijual murah,
dengan label "debat cerah",
padahal isinya bara amarah,
menyulut api di rumah sejarah.
Wartawan bisu, kamera tunduk,
seolah tak tahu mana yang busuk,
padahal panggung itu mereka bangun,
untuk badut politik penuh racun.
Di ruang redaksi tak lagi sakral,
digadai demi sensasi viral,
lupa mereka pada janji awal,
jadi penjaga nalar yang netral.
Tapi rakyat pun kadang terlena,
mengunyah dusta bagai jamuan pesta,
lupa bertanya, lupa curiga,
siapa yang di balik narasi sengketa?
Wahai media, masihkah kau bangga,
jadi ladang subur kebencian tumbuh lebat?
Ataukah kau hanya cermin semu,
yang memantulkan nafsu, bukan mutu?
Biarlah puisi ini jadi tanya,
bagi mereka yang masih punya mata,
karena di era ini, sayangnya,
panggung pendusta lebih megah dari suara fakta.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI