Ketika publik tengah mengupas kembali isu lama yang telah berkali-kali dibantah---keaslian ijazah mantan Presiden Joko Widodo---Rocky Gerung, figur publik yang dikenal sebagai pengamat politik dan filsuf, kembali hadir dengan analisis khasnya. Dalam komentarnya, Rocky menyatakan bahwa klaim Bareskrim Polri soal keaslian ijazah Jokowi tidak cukup. Ia menegaskan bahwa ijazah hanyalah "benda mati" dan yang seharusnya dipersoalkan adalah "proses mendapatkannya." Pernyataan ini sontak memancing perhatian dan perdebatan lebih lanjut. Namun benarkah esensi persoalan ini sebagaimana ditafsirkan oleh Rocky?Mari kita urai satu per satu, secara objektif, berbasis fakta, dan pendekatan yang seimbang antara logika hukum dan filsafat.
---
Ijazah Jokowi: Asli atau Tidak?
Bareskrim Polri, telah memverifikasi bahwa ijazah Sarjana Kehutanan milik Joko Widodo yang dikeluarkan Universitas Gadjah Mada (UGM) adalah otentik. Bukan hanya dari bentuk fisik ijazah yang identik dengan rekan-rekan seangkatannya, tetapi juga dari proses administratif yang terdokumentasi.
Fakta-fakta verifikatif meliputi:
1. Data registrasi mahasiswa: Nama Joko Widodo tercatat resmi sebagai mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM, angkatan 1980.
2. Dokumen akademik: Catatan nilai, transkrip akademik, dan surat kelulusan terarsip dengan lengkap di Direktorat Akademik UGM.
3. Kesaksian teman seangkatan dan dosen: Beberapa tokoh seperti Bambang Purwanto, dosen senior kehutanan UGM, menyatakan bahwa Jokowi aktif kuliah dan lulus dengan prestasi yang wajar.
4. Rekaman visual dan dokumentasi: Foto-foto masa kuliah, liputan koran dan majalah era 1980-an, serta aktivitas organisasi kampus turut menguatkan keberadaan Jokowi sebagai mahasiswa UGM.
Dengan demikian, klaim bahwa ijazah Jokowi palsu telah berulang kali terbantahkan secara hukum dan akademik. Tidak hanya otentik, tetapi juga sah secara prosedural.
---
Esensi Filsafat yang Tertukar
Rocky Gerung menyatakan bahwa "ijazah hanyalah benda mati" dan yang harus dipersoalkan adalah proses memperolehnya. Pernyataan ini pada permukaannya tampak menyentuh esensi filosofis tentang makna otentisitas. Namun jika ditelisik lebih dalam, esensi dalam konteks hukum dan kebenaran administratif tak bisa disamakan begitu saja dengan metafora filsafat.
Apa yang salah dari pendekatan Rocky?
1. Reduksi makna hukum menjadi opini filosofis. Rocky memaksa pembacaan filsafat terhadap kasus yang sepenuhnya bersifat hukum-administratif. Ini seperti mencoba memahami arsitektur rumah dengan teori estetika tanpa menyentuh peta bangunannya.