4.4 Dialektika Politik dalam Situasi Krisis
Â
Tan Malaka adalah tokoh yang menolak solusi instan. Dalam konteks Republik Indonesia pasca-Proklamasi 1945, ia menolak Perjanjian Linggarjati dan Renville karena menganggapnya sebagai bentuk kompromi yang mengorbankan kedaulatan sejati[22]. Ia percaya bahwa logika revolusi tidak bisa dipaksakan masuk ke dalam logika diplomasi borjuis yang penuh tipu daya.
 Namun, penolakannya tidak didasarkan pada fanatisme ideologis, melainkan pada analisis dialektis: bahwa kontradiksi antara kolonialisme dan kemerdekaan tidak bisa diselesaikan melalui negosiasi yang timpang. Maka, ia mendorong pendekatan gerilya politik dan ekonomi sebagai strategi menghadapi krisis nasional.
Â
4.5 Perlawanan sebagai Jalan Hidup
Â
Hingga akhir hayatnya, Tan Malaka tidak pernah keluar dari jalan perlawanan. Bahkan setelah diasingkan, ditolak partai, dan dicap ekstrem oleh banyak pihak, ia tetap mempertahankan garis perjuangannya. Baginya, logika revolusioner tidak tunduk pada popularitas atau legalitas, tetapi pada kebutuhan objektif rakyat untuk merdeka sepenuhnya[23].
Perlawanan baginya bukan sekadar strategi politik, tetapi juga prinsip moral dan komitmen intelektual. Ia hidup dan wafat dengan keyakinan bahwa masa depan hanya bisa dibangun melalui kesadaran, keberanian, dan logika.
Â
Bab 5: Sosialisme Praktis dan Muslihat Politik