Bagi banyak pekerja di kota besar, perjalanan menuju kantor bukan lagi sekadar aktivitas rutin, melainkan sebuah fase hidup yang harus dijalani setiap hari. Bayangkan, berjam-jam terjebak di jalan, menghadapi suara klakson, wajah-wajah penumpang yang sama, dan ketidakpastian kapan akhirnya sampai di tujuan. Semua itu menjadi bagian dari ritme kehidupan urban yang tidak bisa dihindari.
Tidak sedikit orang yang menganggap commuting sebagai sumber stres terbesar setelah pekerjaan itu sendiri. Bahkan, ada yang merasa energi sudah habis duluan sebelum sempat memulai tugas di kantor. Sementara itu, tubuh dan pikiran kita terus dipaksa beradaptasi dengan kondisi jalan raya yang penuh tekanan.
Namun, menariknya, ada juga yang justru melihat perjalanan harian ini sebagai ruang jeda. Bagi sebagian orang, momen di dalam kereta atau mobil menjadi kesempatan untuk mendengarkan musik, membaca buku, atau sekadar melamun. Dari sinilah muncul pertanyaan yang lebih dalam: sebenarnya, apa yang terjadi di otak kita selama commuting?
Jika ditelisik melalui sudut pandang neurosains, perjalanan harian ternyata bukan hanya soal berpindah tempat. Ada proses biologis dan psikologis yang terjadi di balik layar, yang memengaruhi suasana hati, daya pikir, bahkan kesehatan jangka panjang kita. Memahami ini bisa membantu kita melihat commuting dengan perspektif baru---bukan sekadar beban, melainkan pengalaman yang punya makna tersendiri.
Otak dalam Situasi Stres Perjalanan
Ketika seseorang terjebak dalam kemacetan panjang, otak merespons situasi itu seolah-olah sedang menghadapi ancaman. Bagian otak yang disebut amigdala akan aktif, memicu pelepasan hormon stres seperti kortisol. Inilah yang membuat kita mudah merasa gelisah, marah, atau lelah hanya karena perjalanan tidak sesuai harapan.
Respon ini sebenarnya normal karena amigdala memang bertugas menjaga kita tetap waspada. Tetapi, ketika tubuh terus-menerus dibanjiri kortisol, efek jangka pendeknya adalah suasana hati yang buruk. Bayangkan bagaimana rasanya tiba di kantor setelah satu jam penuh "berperang" dengan kemacetan. Energi mental yang seharusnya digunakan untuk bekerja sudah terkuras lebih dulu di jalan.
Selain itu, stres perjalanan juga memengaruhi konsentrasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang sering commuting panjang cenderung mengalami kesulitan fokus saat memulai pekerjaan. Hal ini terkait dengan kondisi yang disebut ego depletion, yakni ketika kapasitas mental menurun karena terlalu banyak energi yang dikeluarkan untuk menghadapi stres.
Dalam konteks ini, commuting bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan pengalaman emosional yang menggerus stamina psikologis. Otak kita tidak dirancang untuk berlama-lama dalam kondisi kewaspadaan tinggi. Itulah sebabnya, banyak komuter merasa letih bahkan sebelum aktivitas utama mereka dimulai.
Lebih jauh lagi, lingkungan jalan yang penuh kebisingan juga menambah beban pada otak. Suara klakson, mesin kendaraan, hingga kepadatan ruang di transportasi umum, semuanya memperkuat stimulus negatif yang mengaktifkan sistem stres. Tidak heran bila commuting sering dianggap sebagai "pencuri kebahagiaan harian."
Namun, menariknya, tidak semua orang mengalami dampak yang sama. Ada individu yang tampak lebih tenang dan mampu menoleransi kondisi sulit di jalan. Perbedaan ini sering kali dipengaruhi oleh cara otak masing-masing orang memproses stres. Faktor kepribadian, pengalaman, dan kebiasaan turut membentuk respons yang berbeda.