Indonesia bukan hanya sekadar nama sebuah negara di peta dunia. Ia adalah rangkaian panjang pengalaman sejarah, perjuangan, ingatan, dan tafsir yang terus berubah dari generasi ke generasi. Setiap peristiwa yang kita kenang, mulai dari Budi Utomo 1908 hingga Indonesia resmi bergabung dengan BRICS pada 2025, adalah bagian dari mosaik memori kolektif bangsa. Dalam mosaik ini ada yang ditonjolkan, ada yang dipinggirkan, bahkan ada yang sengaja dilupakan.
Memori kolektif berbeda dari catatan sejarah yang kaku. Menurut Maurice Halbwachs (1992), memori kolektif adalah cara suatu kelompok sosial mengingat masa lalu sesuai kepentingannya saat ini. Inilah mengapa Proklamasi 1945, misalnya, diingat berbeda pada masa Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi. Sejarah tetap sama, tetapi memori bisa bergeser, menyesuaikan dengan konteks politik dan budaya.
Seiring perkembangan teknologi, cara bangsa ini membangun ingatan juga ikut berubah. Dahulu, koran, monumen, dan buku pelajaran menjadi medium utama. Kini, media sosial, film, bahkan meme ikut menjadi ruang baru untuk menafsir ulang sejarah. Pertanyaannya: bagaimana bangsa ini menjaga kesinambungan memori kolektif tanpa kehilangan arah, di tengah derasnya arus globalisasi?
Tulisan ini mencoba mengajak kita melihat perjalanan panjang memori kolektif bangsa Indonesia dari kolonialisme hingga globalisme. Ia tidak hanya membicarakan "apa yang terjadi", tetapi juga "bagaimana kita mengingat" dan "mengapa ingatan itu penting bagi masa depan".
Fase Kolonialisme dan Nasionalisme Awal (1908--1945)
Kebangkitan nasional 1908 melalui Budi Utomo sering disebut sebagai titik awal lahirnya kesadaran kebangsaan Indonesia. Meski digerakkan oleh kaum priyayi dan mahasiswa kedokteran di STOVIA, peristiwa ini dikenang sebagai pijakan pertama sebuah bangsa yang kelak akan merdeka. Dalam memori kolektif kita, Budi Utomo lebih dilihat sebagai simbol kebangkitan, meski pengaruhnya pada massa rakyat waktu itu terbatas.
Tahun 1912, Indische Partij berdiri di bawah kepemimpinan Tiga Serangkai: Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Dr. Cipto Mangunkusumo. Di sinilah kata "Indonesia" mulai sering dipakai, bukan sekadar istilah geografis, tetapi sebagai identitas politik. Bahkan pada 1913, Ki Hajar menggunakan nama Indonesia dalam Indonesisch Persbureau di Belanda. Itu adalah momen penting: nama Indonesia pertama kali diperkenalkan dalam diplomasi internasional.
Dekade berikutnya, perlawanan rakyat mulai mencuat di berbagai daerah, seperti pemberontakan Tolitoli (1919) yang dipicu pajak dan kerja paksa. Perlawanan lokal ini kemudian menyatu dengan perjuangan intelektual. Pada 1920, berdirinya Technische Hoogeschool di Bandung (cikal bakal ITB) melahirkan generasi insinyur yang kelak berperan dalam politik kebangsaan.
Puncak dari fase nasionalisme awal ini tentu Sumpah Pemuda 1928. Kongres Pemuda II yang dihadiri organisasi kepemudaan lintas etnis melahirkan ikrar tentang satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Benedict Anderson (1991) dalam bukunya Imagined Communities menyebut momen ini sebagai "titik lahir komunitas terbayang Indonesia". Ia bukan sekadar deklarasi, melainkan peneguhan identitas bersama yang menyeberangi batas suku, agama, dan kelas sosial.
Memori Sumpah Pemuda terus hidup hingga kini. Ia diperingati setiap 28 Oktober, dijadikan tema pidato pejabat, hingga dihidupkan kembali oleh generasi muda melalui tagar di media sosial. Perbedaan konteks zaman tidak mengurangi makna pokoknya: persatuan di tengah keragaman.
Ketika Jepang masuk pada 1942, memori kolektif bangsa kembali mengalami pergeseran. Di satu sisi, Jepang menciptakan penderitaan melalui kerja paksa (romusha). Di sisi lain, mereka justru membuka jalan bagi militerisasi pemuda lewat PETA. Pemberontakan Supriyadi di Blitar 1945 menjadi simbol bahwa semangat perlawanan rakyat tak pernah padam.