Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kilas Balik 80 Tahun Indonesia

17 Agustus 2025   05:45 Diperbarui: 16 Agustus 2025   21:08 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi upacara HUT RI.((BPMI Setpres/Muchlis Jr))

Delapan puluh tahun perjalanan Indonesia bukan sekadar hitungan angka di kalender sejarah. Ia adalah sebuah rentang waktu panjang yang penuh dengan pergulatan, kebanggaan, sekaligus pertanyaan yang terus-menerus muncul: sudah sejauh mana kita melangkah sebagai bangsa? Pertanyaan itu tidak sederhana, sebab jawabannya tidak hanya ada di buku sejarah atau pidato pejabat, melainkan juga tercermin dalam kehidupan sehari-hari rakyat biasa.

Membicarakan 80 tahun Indonesia tidak cukup dengan menumpuk data pembangunan atau mengulang kisah perjuangan kemerdekaan. Yang lebih penting adalah bagaimana kita melihat ulang perjalanan ini dari perspektif lain, sebagai pengalaman hidup yang masih relevan untuk dipikirkan hari ini.

Merdeka sebagai Ide yang Selalu Bergerak

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, yang diperoleh bukanlah sebuah kondisi final, melainkan sebuah ide yang terus bergerak. Kemerdekaan pada awalnya berarti bebas dari penjajahan fisik, tetapi seiring berjalannya waktu, makna itu berubah menjadi sesuatu yang lebih luas.

Generasi 1945 memahami merdeka sebagai bebas menentukan nasib sendiri. Generasi 1960-an melihat merdeka dalam kerangka pembangunan ekonomi yang masih rapuh. Generasi 1998 memaknai merdeka sebagai kebebasan berbicara, berserikat, dan melawan rezim yang mengekang. Lalu bagaimana dengan generasi hari ini?

Bagi banyak anak muda, merdeka bisa berarti kebebasan untuk memilih jalan hidup sendiri. Tidak harus menjadi pegawai negeri untuk dianggap sukses, tidak harus menjadi dokter atau insinyur demi diakui keluarga. Merdeka adalah bisa berkarya dengan caranya sendiri, entah itu lewat musik, teknologi, bisnis daring, atau bahkan konten kreatif di media sosial.

Namun, kemerdekaan semacam itu tidak datang tanpa risiko. Kebebasan digital, misalnya, melahirkan ruang luas bagi ekspresi, tetapi juga menciptakan jebakan baru berupa polarisasi politik, budaya instan, dan banjir informasi yang sulit dipilah. Di titik inilah kita menyadari bahwa kemerdekaan bukan sesuatu yang selesai diraih, melainkan ide yang terus ditafsir ulang sesuai tantangan zaman.

Indonesia dalam Cermin Pembangunan

Jika ada kata yang sering dipakai untuk menilai perjalanan Indonesia, kata itu adalah pembangunan. Dari Orde Lama hingga era reformasi, pembangunan selalu menjadi janji utama setiap pemimpin. Kita melihat jalan tol, bandara, pelabuhan, hingga gedung-gedung pencakar langit sebagai simbol kemajuan.

Tetapi pembangunan bukan hanya tentang infrastruktur. Ia juga tentang pemerataan kesempatan, rasa keadilan, dan akses terhadap kebutuhan dasar. Indonesia memang tumbuh pesat di beberapa kota besar, tetapi di banyak daerah pelosok, cerita yang muncul masih jauh berbeda. Masih ada desa yang kesulitan air bersih, masih ada sekolah dengan atap bocor, masih ada anak-anak yang harus berjalan berkilo-kilometer untuk belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun