Ketika hipokampus terpapar kortisol berlebihan dalam jangka panjang, fungsinya bisa terganggu. Hal ini menjelaskan mengapa orang yang sering mengalami perjalanan penuh stres cenderung mudah lupa atau sulit menyerap informasi baru. Kemampuan otak untuk beradaptasi pun menurun, sehingga seseorang lebih cepat merasa lelah secara kognitif.
Selain hipokampus, bagian otak lain yang terdampak adalah prefrontal cortex. Area ini berfungsi untuk mengatur pengambilan keputusan, pengendalian diri, dan perencanaan. Tekanan berulang dari commuting yang melelahkan dapat menurunkan kapasitas area ini, membuat seseorang lebih impulsif, mudah marah, atau kehilangan fokus.
Tidak hanya pada tingkat neurologis, dampak commuting panjang juga terlihat pada kesehatan psikologis sehari-hari. Banyak studi melaporkan bahwa komuter dengan durasi perjalanan lebih dari 90 menit per hari memiliki tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi dibanding mereka yang tinggal dekat kantor. Hal ini sejalan dengan beban emosional yang harus ditanggung tubuh setiap kali menghadapi perjalanan yang tidak pasti.
Efek jangka panjang lainnya adalah penurunan kualitas tidur. Ketika tubuh terus berada dalam kondisi siaga, ritme sirkadian bisa terganggu. Orang yang sering menghadapi perjalanan stres cenderung mengalami kesulitan tidur nyenyak, yang kemudian memperburuk suasana hati dan kesehatan mental secara keseluruhan.
Dalam jangka panjang, commuting yang penuh tekanan juga berpotensi menurunkan kepuasan hidup. Ketika sebagian besar waktu habis di jalan, seseorang merasa tidak punya cukup ruang untuk keluarga, teman, atau hobi. Perasaan kehilangan kendali atas hidup ini dapat memicu frustrasi yang berkepanjangan.
Namun, menariknya, dampak negatif ini tidak sepenuhnya mutlak. Ada orang-orang yang justru berhasil menjadikan perjalanan panjang sebagai waktu "me-time" yang produktif. Mereka menggunakan perjalanan untuk belajar bahasa baru, mendengarkan podcast inspiratif, atau sekadar menghubungi orang terdekat. Perbedaan ini menunjukkan bahwa efek commuting sangat bergantung pada cara kita memaknainya.
Dari sisi neurosains, otak memiliki sifat plastisitas, yakni kemampuan untuk beradaptasi dengan pengalaman. Artinya, sekalipun commuting panjang bisa berdampak buruk, otak juga bisa belajar untuk mengolah pengalaman itu menjadi lebih positif. Kuncinya adalah bagaimana kita mengatur persepsi, kebiasaan, dan strategi pengelolaan stres dalam perjalanan.
Hal ini membuka peluang bagi commuting untuk tidak selalu menjadi musuh. Justru, dengan pengelolaan yang tepat, perjalanan bisa menjadi ruang latihan mental yang memperkuat ketahanan diri. Seperti otot yang dilatih dalam olahraga, otak pun bisa menjadi lebih tangguh jika kita mampu mengubah cara memandang rutinitas harian ini.
Pada akhirnya, commuting bisa menjadi cermin dari relasi kita dengan kehidupan modern. Jika kita melihatnya sebagai hukuman, maka ia akan terus terasa menekan. Tetapi jika kita menganggapnya sebagai bagian dari proses hidup, maka dampaknya bisa berbeda sama sekali. Neurosains memberi bukti bahwa otak kita selalu siap beradaptasi---tinggal bagaimana kita mengarahkan proses itu.
Strategi Neurosains untuk Mengelola Stres Perjalanan
Salah satu strategi paling sederhana untuk meredakan tekanan saat commuting adalah melalui musik. Penelitian menunjukkan bahwa mendengarkan lagu dengan tempo tertentu dapat menurunkan aktivitas amigdala, sehingga hormon stres berkurang. Musik menjadi semacam terapi yang mampu membawa otak dari kondisi siaga menuju relaksasi. Tidak heran jika banyak komuter selalu membawa earphone sebagai senjata andalan di jalan.
Selain musik, praktik meditasi mikro juga bisa dilakukan di tengah perjalanan. Tidak perlu lama-lama, cukup dua hingga lima menit menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan penuh kesadaran. Latihan kecil ini bisa mengaktifkan sistem saraf parasimpatik, yang bertugas menenangkan tubuh setelah menghadapi tekanan. Bahkan di dalam kereta yang penuh sesak, teknik ini tetap bisa dilakukan tanpa perlu menarik perhatian orang lain.